Other Stories

Sebuah Awal

???????????????????????????????

Rasanya saya baru saja menjemput suami saya di Bandara Schiphol pada awal Agustus lalu. Tahu-tahu pada akhir Agustus kami berdua sudah berada di Schiphol lagi. Kali ini untuk pulang.

Satu bulan berlalu dengan cepat ya.

Di awal September, rasanya kami baru saja menginjakkan kaki di Bandara Soekarno – Hatta. Tahu-tahu sepuluh hari kemudian kami berdua sudah akan meninggalkan rumah orang tua di Bekasi dan pindah ke Jogja.

Sepuluh hari rasanya hanya sekejap.

Saya sudah tinggal jauh dari orang tua sejak SMA. Saya sudah terbiasa mengatasi sedihnya berpisah dan rindunya berjauhan. Sehari sebelum berangkat ke Jogja, saya dan suami sudah selesai berkemas dari rumah orang tua saya dan hendak berangkat ke rumah mertua, karena esoknya kami akan berangkat dari sana.

Beberapa hari sebelumnya, saya dan suami sama-sama drop dan terserang flu. Terlebih lagi saya merasa lemas dan pusing, yang ternyata dikarenakan tekanan darah rendah. Hari-hari kepulangan kami memang diisi dengan mondar-mandir silaturahim dengan keluarga dan kerabat dan juga mengurus administrasi kepindahan. Mungkin kami butuh istirahat lebih.

Jadilah siang itu, di hari saat akan meninggalkan rumah orang tua, kami berdua tertidur di sofa setelah lelah kesana-kemari dan berkemas. Saat terbangun, saya duduk dan menyapu pandangan ke sekeliling rumah. Tiba-tiba saja saya menangis.

“Rasanya baru kemarin sampai rumah ya… sekarang udah mau pergi lagi. Aku masih kangen rumah.” Entah kenapa saya tiba-tiba cengeng seperti anak kecil yang masih mau bermanja-manja dengan kedua orang tua. Saya masih mau makan masakan mama. Saya masih ingin mengobrol dan bercanda dengan papa. Saya masih mau dipijat dan diolesi balsem oleh mama saat masuk angin. Saya masih ingin bercerita, ketawa-ketiwi, dan mendengarkan pengalaman seru adik-adik saya. Biasanya saya pergi hanya untuk sementara dan akan pulang lagi ke rumah orang tua. Tapi kali ini saya akan pergi dan tinggal dengan suami, membangun keluarga, dan memulai kehidupan baru. Terutama saya sedih meninggalkan Mama karena beliau belakangan ini sering sendirian di rumah. Papa sering dinas ke luar kota dan ketiga adik saya tidak lagi tinggal di rumah. Dua adik saya kost di Depok dan adik saya yang bungsu semester ini baru saja pindah sekolah ke sekolah sepak bola di Malang.

Suami saya siap sedia dengan bahunya. Saya pun tambah sesenggukan. “Apa ditunda aja ke Jogjanya?” ia menawarkan. Sesungguhnya saya ingin mengiyakan. Tetapi, keberangkatan ini sudah direncanakan sebelumnya dan mertua sudah siap untuk ikut mengantarkan, sekalian jalan karena ada urusan di Sragen. Lagipula suami saya harus segera kembali bekerja.

Kemudian saya menggeleng. Saya memohon maaf dan meyakinkan bahwa saya hanya masih rindu rumah, bukan berarti saya tidak mau segera ikut suami ke Jogja. “Iya aku ngerti kok,” ujarnya menenangkan.

Sore itu, saya dan suami berpamitan kepada Mama. Papa tidak ada di rumah karena sedang dinas di Malang, sedangkan kedua adik perempuan saya sedang ada di kost di Depok. Dari dalam mobil saya melihat mama melambaikan tangannya sambil berdiri di dekat pagar. Mama yang tidak tahu bahwa saya masih sangat rindu. Mama yang tidak tahu bahwa beberapa jam sebelumnya saya menangis karena berat meninggalkannya. Apakah mama juga merasakan hal yang sama?

1865143963390123180513

12 thoughts on “Sebuah Awal”

    1. Iya Mbak.. Insya Allah. 🙂 Bukan karena ke Jogjanya sih..tp mungkin melangkah ke fase barunya itu ya hehe.. Ditambah mamaku sering sepi sendiri di rumah belakangan ini, jadi agak berat kemarin ninggalinnya.
      Thanks ya. 🙂

      Like

  1. Rasanya lain ya meninggalkan orang tua dan adik-adik karena sekarang sudah bersuami? Maksudku apakah waktu kamu pergi jauh belajar sedihnya seperti ini? Good luck in Yogya Icha & suami.

    Like

Leave a reply to Dian Rustya Cancel reply