Other Stories

Tiga Gerbang

10300223_774423029264855_5241964564291967202_n
Sumber: laman Facebook Spirit Science

Kira-kira sebulan lalu ada salah satu postingan di newsfeed Facebook yang membuat saya manggut-manggut dan merenung. Postingan tersebut adalah foto di samping yang berisi tiga gerbang yang harus dilalui jika kita hendak berbicara.

1. Apakah hal itu benar?

2. Apakah hal itu penting?

3. Apakah hal itu baik?

Kita tentu familier dengan peribahasa “mulutmu harimaumu”. Pada era internet saat ini bisa juga kita tambahkan, “jari-jarimu harimaumu” karena kita lumrah ‘berbicara’ lewat tulisan di berbagai media sosial. Kata-kata kita bisa jadi memberikan manfaat, menyampaikan ilmu pengetahuan, menyenangkan hati orang lain, namun bisa juga sebaliknya, menyakiti dan menyebar kebencian. Dalam ajaran islam, hal senada disebutkan dalam hadits yang berbunyi, ““Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim). Saya yakin agama lain pun senada dalam hal mengajarkan umatnya untuk berkata baik.

“What a great gate! In Czech we call it 3P, because true (=pravda), necessary (=potřebné) and kind (=přívětivé) all starts with P in Czech:-) Sometimes instead of kind we say helpful (=pomáhající), because not everything what you need to say is necessary kind, but the person will thank you anyway :-)” begitu tanggapan teman saya — seorang Ceko — saat saya membagikan gambar tersebut. Ternyata anjuran tersebut cukup universal ya. Sudah sejatinya seluruh tindakan, termasuk perkataan, dipikirkan baik-baik terlebih dahulu. Tiga gerbang itu bisa menjadi semacam filter saat kita misalnya akan posting status atau mengomentari postingan teman di media sosial.

Contoh kasus 1: seseorang yang curhat di Facebook bahwa ia sedang berantem dengan pasangannya (saya pakai contoh ini karena pernah ada masanya melihat pasangan-pasangan berantem di ruang publik macam Facebook).

1. Apakah hal itu benar? Ya, memang benar ia sedang ada masalah dengan pasangannya.

2. Apakah hal itu penting? Mungkin penting buat dia, tapi memangnya penting bagi orang lain?

3. Apakah hal itu baik? Curhat dan membicarakan orang lain di media sosial belum tentu menyelesaikan masalah, malah bisa-bisa membuatnya tambah runyam. Kalau misalnya besok ia berbaikan dengan pasangannya dan mesra-mesra lagi, uhm..pasang status itu hanya mempermalukan dirinya saja. Get a private room to solve your problems instead of publish them and let the whole world know.

Contoh kasus 2: ibadah. Media sosial terkadang menjadi buah simalakama. Terkadang maksud kita awalnya baik, tetapi lama kelamaan bisa jadi bumerang bagi kita sendiri. Bagi saya, bergaul di media sosial adalah proses belajar yang tak kenal henti, salah satunya menyaring apa yang menjadi ranah pribadi dan ranah publik. Salah satu ranah pribadi adalah terkait ibadah dan amal kebaikan.

Beberapa hari lalu, saya sempat membaca satu postingan yang dibagikan oleh seorang teman (saya lupa sumbernya dari laman Facebook komunitas mana). Isinya kurang lebih bahwa seseorang menuliskan status mengenai aktivitasnya seharian,

“Alhamdulillah hari ini puasa lancar, tadarus satu juz selesai, hafalan satu surat, dan sorenya buka puasa dengan anak-anak yatim di panti. Senangnya bisa berbagi. Nanti malam insya Allah qiyamul lail.” And at the end of the day all the good deeds are gone because of riya (riya adalah sifat suka menampilkan diri dalam beramal, agar amal tersebut dilihat orang dengan maksud ingin mendapat simpati atau pujian).

Bisa jadi niat awalnya ingin memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang kita lakukan. Tapi mungkin lebih baik kita pertanyakan lagi niat kita dan berpikir kembali apakah hal-hal tadi melewati ketiga gerbang sebagai kontrol. Wallahua’lam.

Contoh kasus 3: edisi Pilpres. Oke, walaupun kita udah mulai overwhelmed dengan isu yang satu ini, tapi ini adalah contoh yang bisa membuat kita berefleksi terkait dengan ketiga gerbang tadi. Dalam masa kampanye sampai pasca pemilu ini terjadi polarisasi yang cukup kuat. Saya melihat ada tiga golongan orang di dunia media sosial.

Yang pertama, orang-orang yang sangat aktif memposting berita dan segala tautan terkait capres (walau entah sumbernya bisa dipercaya atau tidak), mengomentari tautan berita, menganalisis debat, dll, serta rajin mengomentari postingan orang lain terkait isu yang sama. Golongan ini keukeuh dengan pendapatnya, banyak berkoar tapi sedikit mendengarkan. Mereka marah, sinis, dan tak jarang berkata kasar demi menyampaikan unek-unek mereka. Yang kedua, orang-orang yang sangat anti dengan segala macam bentuk postingan tentang Pilpres. Kita tidak bisa berprasangka bahwa mereka adalah orang-orang yang apatis. Mungkin saja mereka sudah terlalu lelah dengan ‘perang’ pendapat yang telah dan masih berlangsung. Golongan kedua ini terkadang sampai mengancam bahwa ia akan unfollow semua teman Facebooknya yang masih ngoceh seputar Pilpres dalam segala bentuk meski itu hanya secuil. Golongan ketiga adalah golongan yang — meminjam istilah dalam lagu dangdut — sedang-sedang saja. Mereka posting berita atau status seperlunya, meskipun terbilang sering namun tidak terlalu mengganggu karena postingannya berbobot, cerdas, dan sopan. Termasuk di dalam golongan ketiga ini mereka yang bisa melihat sisi lucu atau humor dari berita-berita serius dan mengundang perpecahan.

Kalau Anda termasuk yang mana kira-kira? 😀

Terkait Pilpres, pada suatu hari di bulan Juni saya pernah melihat seorang kawan memasang status di Facebook yang isinya menjelek-jelekan seseorang yang saya kenal sekaligus organisasi yang saya cukup tahu isi dapurnya. Dalam hati saya berkata, “Sok tahu banget lo! Mendingan nggak usah ngomong lah kalau nggak tahu apa-apa. Lo ngejudge dan berprasangka akan hal baik yang dilakukan orang lain, emang lo udah melakukan hal nyata apa aja?” Apalagi cacian yang ia sampaikan itu pure opini tanpa didukung fakta apapun. Kalau digambarkan dengan ilustrasi kartun, mungkin di mata saya udah ada api terus keluar asap dari dua kuping saya. Hehehe..

TAPI saat kita merasa marah seperti itu, justru kita harus diam sejenak dan berpikir. Dalam konteks media sosial, jangan biarkan jari jemari kita langsung menari indah di atas keyboard dan menuliskan komentar penuh amarah untuk menanggapi hal tersebut. Jujur, saya kesal. Tapi untunglah saya bisa berpikir jernih dengan memutuskan tidak berkomentar apa-apa walaupun bisa jadi komentar tersebut melewati gerbang pertama dan kedua, yaitu benar dan penting. Meskipun bisa saja lolos juga di gerbang ketiga, yaitu perkataan yang baik, namun belum tentu hal baik itu akan ditanggapi dengan baik juga. Ada kemungkinan akan disanggah dan berakhir debat panjang. Saya suka berdiskusi, tapi saya tidak suka debat yang pointless.

Karena orang tersebut memang sudah tergolong ‘meresahkan’ dalam pandangan saya, akhirnya saya klik kanan dan memilih opsi ‘unfollow’. Lega rasanya tidak menghabiskan energi saya untuk kesal terhadap postingan semacam itu. Alih-alih berkomentar di postingannya, saya kemudian menulis status:

Constantly unfollowing people on Facebook. 
This is indeed a learning process for me and for everyone.
It’s good to be critical but when your post is full of judgemental opinion, I choose not to see those posts anymore. I can’t tell how much I actually want to comment on those posts to counter or to criticize back. But then, what for? People just hear what they wanna hear anyway. While I still see some healthy discussion and debate here on Facebook (thanks, good people! :)), I also see war. And hence, I withdraw myself from the war. 
Presidential election is something big, something important. But remember you also have a life (well..you have, don’t you?). Do something real in your life. 

Have a nice weekend, good people! 

Memasang tiga gerbang ini sebagai penyaring dalam segala perkataan kita sangatlah bermanfaat. Seringkali saya ingin mengomentari status beberapa teman, sudah saya ketik namun kemudian saya hapus karena yaa..sudahlah tidak ada manfaatnya saya berkomentar. Saya akui terkadang saya hanya ingin posting sesuatu  just for fun. Mungkin tidak melewati gerbang ‘penting’ namun semoga saja tetap menghibur dan tidak menyakiti siapapun hehe…

Pesan saya, terkait Pilpres atau isu lainnya, berhati-hatilah jika ingin menyebarkan berita. Lihat juga sumbernya, karena saat ini tiba-tiba banyak media berita ‘jadi-jadian’ yang entah siapa pengelolanya dan dari mana sumber beritanya. Termasuk juga blog-blog anonim yang isinya sangat provokatif.

Saya jadi teringat pada cerita di film Doubt.

Suatu hari ada seseorang yang menyebarkan berita bohong tentang tetangganya. Ketika ia sadar akan kesalahannya, ia pergi ke gereja dan melakukan pengakuan dosa. Kata sang pastor, Tuhan pasti mengampuni dosanya. Tetapi, pastor itu kemudian memintanya pulang, menyobek bantal kapuknya, dan menebarkan isinya. Setelah melakukan hal yang diminta sang pastor, orang itu kembali ke gereja. Lalu sang pastor meminta orang itu mengumpulkan kembali kapuk yang telah bertebaran terbawa angin. Sontak orang itu mengatakan hal itu tidaklah mungkin. Nah itulah yang dinamakan gosip. Bisa saja sang penggosip telah menyesali perbuatannya, namun berita yang sudah tersebar sangat sulit untuk ditarik lagi.

1865143963390123180513

17 thoughts on “Tiga Gerbang”

  1. Suka banget analogi di kalimat penutupnya cha. harus instrospeksi diri nih supaya gak kebablasan dalam bersosialisi di media social. great post 🙂

    Like

Leave a comment