Other Stories

Pergi untuk Kembali (Catatan Cinta untuk Mama & Papa)

Mama dan Papa pada akad nikah saya dan Chendra, 28 Desember 2013
Mama dan Papa pada akad nikah saya dan Chendra, 28 Desember 2013

Membaca buku “Long Distance Love” karya Mbak Imazahra dkk sedikit banyak membuat saya bercermin akan hal-hal yang juga terjadi dalam kehidupan saya. Salah satunya lewat tulisan Mas Alan (suami Mbak Shanty dan papanya Iyog) yang berjudul “Saat Sang Anak Pergi”.

Sungguh…sebelumnya memang tak terpikirkan dalam benak saya bahwa kepergian seorang anak bisa berarti sangat mendalam bagi orang tua. Kepergian seorang anak bisa menjadi adegan yang benar-benar dramatis, bukan sekadar sesuatu yang didramatisasi.

Perasaan yang digambarkan Mas Alan saat ditinggal Iyog pergi, baik itu ketika Iyog akan kembali pulang ke Depok (saat itu Mas Alan baru pindah tugas ke Jogja) maupun saat Iyog akan berlibur ke rumah Mbahnya, sungguh menyentuh…  Bagaimana orang tua begitu khawatir

saat anaknya akan pergi, jauh atau dekat, lama atau sebentar, saya tak pernah benar-benar memikirkannya.

Saya merasa begitu egois. Sebagai seorang anak, mungkin saya lebih sering memikirkan perasaan saya sendiri. Saya sibuk berusaha menjadi seorang anak yang mandiri, yang tidak manja, yang tidak cengeng, walaupun harus hidup berjauhan dari orang tua. Tapi ternyata…orang tua dengan segenap kasih sayangnya tak bisa lepas dari perasaan takut, perasaan khawatir, dan tentu saja…rindu.

Semua kejadian terlintas begitu saja layaknya cerita flashback yang muncul di sebuah layar di hadapan saya. Sudah sewajarnya setiap orang tua ingin anaknya mandiri. Dan untuk membentuknya…bukannya tanpa pengorbanan, yang sebelumnya tak saya sadari. Sejak kelas 3 SD, saya aktif ikut Pramuka dan hampir tak pernah absen dalam kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu) yang sering diadakan sekolah. Bahkan sewaktu kelas 4 saya diizinkan ikut kegiatan Pramuka yang mengharuskan tinggal di perkemahan Cibodas selama 3 hari. Waktu itu kebanyakan kelas 6 yang ikut, tapi saya dengan sotoynya pengen ikut (sebenarnya emang diajakin sama Pembina Pramuka nya juga sih…). Dulu pernahkah saya memikirkan perasaan orang tua? Tidak. Saya hanya berpikir, saya mandiri, berani, dan tidak cengeng. Saya biasa hidup susah, jadi saya pasti tahan tidur di tenda dan masak pake kayu bakar selama tiga hari.

Kelas 4 SD saya ikut les Bahasa Inggris, bahasa yang waktu itu belum sepopuler sekarang, apalagi buat saya yang bukan tinggal di kota besar. Dari rumah ke tempat les, saya harus naik angkot sekali. Yang ada di pikiran saya, saya berani. Maka saya berangkat sendiri. Sekali diantar papa, selanjutnya selalu sendiri. Mungkin berbagai perasaan khawatir melanda Papa dan Mama saat itu. Tapi demi mendidik anaknya mandiri, mereka berhasil menyimpan perasaan itu. Jika Papa disuruh menulis lewat sudut pandangnya, mungkin adegan itu akan menjadi sangat melankolis. Bukan cerita seorang anak kecil yang merasa senang diberi kebebasan dan kepercayaan. Bukan cerita seorang anak kecil yang merasa bangga bisa naik angkot sendiri.

Hari demi hari berlalu. Dibandingkan dengan teman-teman, saya termasuk yang jarang dilarang-larang oleh orang tua selama kegiatan itu positif. Waktu SMP mulai ikut OSIS dan sering pulang sore, orang tua tak pernah marah. Saya selalu diberi kepercayaan.  Dan ketika masuk SMA, orang tua merelakan kepergian saya sekolah berasrama. 3 tahun berlalu, tiba saatnya kuliah. Saya kuliah di Jogja dan orang tua tetap mendukung dan memberi kepercayaan. Jujur, saya jarang memikirkan perasaan orang tua ketika saya pergi meninggalkan rumah.

Apalagi tahun 2007 lalu pergi ke Korea. Saya sibuk memikirkan diri sendiri. Sepanjang perpisahan-perpisahan saya dengan orang tua, baru saat itu saya menangis di depan mereka. Bandara Soekarno-Hatta menjadi saksinya. Saya menangis karena memikirkan perasaan saya sendiri. Saya menangis tanpa memikirkan perasaan orang tua yang ditinggalkan anaknya.

Perlahan saya mengerti sebesar apa pengorbanan yang dilakukan orang tua dari masa ke masa. Semakin sang anak dewasa, kemungkinan akan semakin jauh anak itu pergi. Akan semakin banyak tempat-tempat baru yang dilewati oleh sang anak. Akan semakin banyak orang-orang baru yang ditemui sang anak. Semua itu tak mungkin tidak membuat orang tua khawatir. Bagaimana sholatnya? Bagaimana makannya? Bagaimana kesehatannya? Bagaimana pergaulannya? Dan masih banyak lagi…

Terima kasih, Mama, Papa…

Telah banyak tempat yang aku singgahi, telah banyak pula orang-orang yang aku temui. Semua itu takkan mungkin tanpa ridha dan doamu.

Sejauh apapun aku pergi, takkan kulupa bahwa rumahku adalah dalam peluk dan cintamu.

I love you, Mama dan Papa…

Jogja, 23 Maret 2009

 

*Repost tulisan saya di Multiply pada tahun 2009. Tahun 2002 lalu, saya menulis hal senada saat solo traveling ke Sumatera dalam “Haru di Rumah Heru“.

1865143963390123180513

9 thoughts on “Pergi untuk Kembali (Catatan Cinta untuk Mama & Papa)”

    1. Hehe.. kebetulan terbiasa gitu dari kecil. Tapi aku pernah baca sebuah quote, “It’s not so much matter where we are, but to what direction we move.” Jadi mau dimanapun ya semoga menuju kebaikan. 🙂

      Like

  1. aku juga gak pernah peduli perasaan ortu soal pergi2 ini. main cabut2 aja, nelp kasih tau mau pergi pas udah dipesawat, tau2 udah entah dimana. Mereka mau ngelarang wis kasep hahaha. Padahal kita pergi yang deket2 aja mereka sebenarnya khawatir ya, apalagi yang jauh2 gitu.

    Like

  2. Senasib bangeeet kak. Aku kbnyakan kejar ambisi pribadi kadang lupa kalo orang tua pun bertambah tua 😦 sedih bacanya.
    Kak ichaa, aku mau curcol doong. Shbs bc ini kok relasi sm dilema aku dr kmrn hehe. Ttg IM kak xD

    Like

    1. Iyaa.. walau jauh, tapi setidaknya dengan teknologi kayak sekarang jadi lebih mudah untuk komunikasi bhel. Keluargaku punya grup whatssap, terus kadang (walau ga sering) skype juga sama ortu hehe..
      Hayuukk..mau curhat apa? Kontak di Fb aja ya. 🙂

      Like

Leave a comment