Other Stories

Rumah Bagi Mereka yang Tak Berumah

fredie
Fredie bermain gitar

Fredie mempersilakan kami masuk ke kamarnya yang berukuran kira-kira 4 x 2.5 meter. Kamarnya tidak bisa dibilang rapi, namun menurut saya layak huni dilihat dari ukuran, ventilasi, serta furnitur yang ada di dalamnya. Fredie kemudian mengambil gitar eletriknya dan memainkannya untuk kami. Kami semua serempak bertepuk tangan saat Fredie mengakhiri permainan gitarnya.

Fredie (56) adalah salah seorang penghuni Ommelanderhuis, sebuah tempat penampungan (shelter) bagi orang-orang yang tak memiliki rumah di Groningen. Terletak di Schoolstraat 11, ternyata bangunan ini memiliki sejarah yang cukup panjang (baca selengkapnya di SINI), salah satunya sebagai asrama untuk para biarawati. Fredie yang saat itu bertindak sebagai pemandu tur di Ommelanderhuis juga menunjukkan kepada kami bekas terowongan yang dulunya menghubungkan gedung ini dengan Martinikerk (kerk berarti gereja dalam bahasa Belanda). “Terowongan ini berfungsi sebagai jalan bagi para biarawati karena mereka tidak lazim untuk berjalan di keramaian ,” katanya menjelaskan.

***

Kunjungan saya ke Ommelanderhuis hari ini berawal dari tawaran Pak Ludwig, seorang aktivis Palang Merah Groningen yang memiliki hubungan baik dengan mahasiswa Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa Maarten, pengelola rumah penampungan tersebut mengundang sebuah grup kecil untuk melakukan kunjungan dan memberikan penjelasan seputar sistem penjaminan sosial di Groningen, khususnya institusi yang ia kelola. Tentu saja saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Grup kami terdiri dari dua orang mahasiswa (dan seorang siswa sekolah dasar) Indonesia dan tiga orang mahasiswa Brazil, ditambah Pak Ludwig sendiri. Maarten menyambut dan membawa kami ke sebuah ruang pertemuan. Sambil ditemani teh dan kopi, Maarten memberikan penjelasan singkat mengenai Het Kopland dan Ommelanderhuis yang berada dalam satu gedung namun merupakan dua institusi yang terpisah.

page1
Atas: foto bersama di taman belakang Ommelanderhuis (foto: Pak Ludwig); Bawah: Penjelasan dan diskusi singkat

Di website Het Kopland tertulis: For anyone who loses grip on life, vulnerable or in danger of being excluded. With counseling, treatment and safe shelter, assistance with housing, work and relationships. So that people can find their own place and direction, and again just to get involved. Menurut penjelasan Maarten, Het Kopland dapat menampung mereka yang membutuhkan tempat tinggal dengan durasi maksimal satu tahun. Selama satu tahun tersebut, mereka diberikan pembinaan agar dapat mandiri di kemudian hari. Selain itu, dalam keadaan darurat, Het Kopland juga menerima short stay khususnya bagi mereka yang berada dalam situasi rentan dan atau terancam.

Sedangkan mereka yang tinggal di Ommelanderhuis adalah yang memiliki dual diagnosis yaitu bukan ‘sekadar’ bermasalah dalam hal sosial-ekonomi namun juga memiliki masalah mental atau psikologis. Oleh karenanya, perlakuan yang diberikan di sini mencakup pengobatan psikiatrik. “Tidak ada batasan waktu untuk tinggal di sini, bahkan bisa jadi sebagian mereka terus tinggal di sini sampai akhir hayatnya,” ujar Maarten. Kamar-kamar di Ommelanderhuis seluruhnya berjumlah 39 dan dibagi menjadi tiga area, yaitu area khusus untuk wanita, korban kekerasan dalam rumah tangga dan obat-obatan, serta human-trafficking.

Prosedur untuk dapat tinggal di kedua rumah penampungan tersebut ternyata cukup panjang. Het Kopland dan Ommelanderhuis adalah tujuan akhir setelah memeroleh referensi dari Dinas Sosial setempat. Maarten menyebutkan adanya sistem coach dimana sekelompok orang yang dikategorikan homeless dan vulnerable memiliki tutor atau pendamping yang bekerja di bawah Dinas Sosial. Pendamping ini bertugas memonitor kondisi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Jadi dalam keadaan dimana orang-orang tersebut harus tinggal di Het Kopland dan Ommelanderhuis, sang pendamping melaporkan mereka ke dinas sosial dan dinas sosial akan merekomendasikan ke salah satu institusi tersebut.

Dalam menjalankan kegiatannya, Het Kopland dan Ommelanderhuis memeroleh dana dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sebenarnya di Belanda sudah ada jaminan sosial bagi mereka yang tidak bekerja. Maarten mengatakan bahwa jumlahnya sekitar 900 euro per bulan. Namun bagi mereka yang tinggal  di Het Kopland dan Ommelanderhuis, jumlah uang yang sampai ke tangan penghuni keduanya berkisar antara 200 sampai dengan 400 euro karena dipotong berbagai kebutuhan sehari-hari termasuk pengobatan. Dalam hal finansial, penghuni juga biasanya memerolah pendapatan tambahan dari membantu berbagai pekerjaan seperti bersih-bersih maupun mengurus kebun.

Setelah sesi penjelasan dan diskusi singkat, Maarten mengajak kami berkeliling gedung. Saat itulah Fredie bergabung bersama kami. Fredie dengan riang dan antusias menunjukkan tempat-tempat penting di Ommelanderhuis, tempat ia tinggal. Fredie berbicara dengan tidak terlalu jelas, saya kurang yakin tetapi mungkin ada hubungannya dengan masalah psikologis yang pernah menimpanya.

Di lantai dasar, kami melewati sebuah common room. “Ini area bebas rokok dan yang di sana area untuk merokok,” Fredie menjelaskan. “Iya, siapapun bebas merokok sebanyak-banyaknya di sini, dengan catatan memiliki uang untuk membeli rokoknya,” kelakar Maarten. Seorang penghuni yang sedang merokok di sana tertawa mendengarnya sambil menyemburkan asap rokok dari mulutnya.

Melihat Fredie, banyak sekali yang ingin saya ketahui tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang waktu yang telah ia lewati selama tinggal di Ommelanderhuis. Saat kami berada di kamarnya, saya melihat foto dirinya saat ia muda. Foto itu tertempel di tembok tanpa bingkai, menampakkan dirinya yang masih gagah dengan seragam tentara. “Saya dulu ikut pelatihan militer,” ujarnya. Seusai bermain gitar untuk kami, ia juga dengan bangga memamerkan foto dirinya sedang bermain gitar yang dimuat di majalah yang diterbitkan Ommelanderhuis.

Perpustakaan
Perpustakaan

Kami juga melihat ruang perpustakaan yang saat ini sedang ditutup sementara. Maarten mengatakan bahwa dulunya di ruangan ini banyak dilakukan kegiatan bersama para relawan. Namun karena ada perampingan staf dan pemotongan anggaran, staf perpustakaan diberhentikan dan kegiatan di perpustakaan ini sementara terhenti. Namun pada saat-saat tertentu, penghuni rumah penampungan ini tetap memiliki kegiatan bersama untuk sekadar refreshing. “Minggu lalu mereka bermain Bingo,” kata Maarten, “Fredie, saya dengar kamu memenangkan permainan itu kan?” Fredie mengiyakan sambil tersenyum bangga.

Pak Lugwig juga bertanya apakah Fredie senang tinggal di sana dan ia menjawab senang. Setidaknya ia punya tempat tinggal, teman, dan orang-orang yang bisa menerimanya. Maarten sempat bercerita juga bahwa dalam beberapa kasus sebenarnya penghuni Ommelanderhuis sudah sembuh namun tidak punya keberanian karena merasa tidak diterima di dunia luar.

Seusai tur singkat di seputar gedung, Fredie bergabung untuk berdiskusi singkat sebelum kegiatan tersebut benar-benar ditutup. Banyak pertanyaan yang ada di kepala saya tentang Fredie, namun saya berhati-hati dan sibuk memilih pertanyaan apa yang wajar untuk ditanyakan. Sementara itu Fernanda, teman saya dari Brazil, menanyakan bagaimana Fredie bisa tinggal di Ommelanderhuis. Fredie dengan bicaranya yang tidak terlalu jelas berkata bahwa kedua orang tuanya meninggal pada saat ia berumur 4,5 tahun. Kemudian sejak saat itu ia tinggal bersama kakak perempuannya. Saat kakak perempuannya meninggal, ia sangat terpukul dan kesepian. Suara Fredie terdengar seperti sedang menahan air mata. Entah jawaban itu menjawab pertanyaan Fernanda atau tidak. Setelah itu ia berkata bahwa pemerintah menghukumnya karena kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Entah kesalahan apa, ia tidak bercerita lebih lanjut dan kami enggan untuk bertanya. Mungkin itu adalah sebuah luka lama bagi Fredie. Namun yang terpenting Fredie yang kami lihat saat ini adalah Fredie yang ramah dan penuh semangat. Dan tentu semua itu tidak terjadi begitu saja dan membutuhkan proses yang panjang.

“Fredie, sudah berapa lama kamu tinggal di sini?” tanya saya saat kami berjalan menuruni tangga menuju pintu keluar.

“Terlalu lama, hehe…” jawabnya sambil tertawa kecil dan menghela napas panjang.

Sampai saat kami berpamitan di pintu keluar, kisah hidup Fredie masih merupakan sebuah puzzle yang belum utuh bagi kami. Namun saya merasa beruntung pernah bertemu dengannya. Rumah penampungan ini mungkin tidak sangat besar namun bisa membuat orang-orang yang tinggal di dalamnya berjiwa besar dan memiliki harapan lagi untuk terus bertahan menghadapi kehidupan. Tempat ini membuat mereka merasa berada di rumah dan diterima sebagai manusia seutuhnya.

 

Ps. Informasi di atas saya peroleh dari penjelasan dan tur singkat, semoga saja tidak ada yang salah interpretasi. Terlebih lagi, penjelasan dari Maarten tidak runut dan agak ‘loncat-loncat’. Oleh karenanya untuk informasi lebih lanjut sila merujuk ke website institusi tersebut.

1865143963390123180513

Advertisement

8 thoughts on “Rumah Bagi Mereka yang Tak Berumah”

    1. Di sini uang segitu bisa habis untuk sewa rumah satu bulan, Mas. Memang kita tidak bisa jika langsung mengonversi ke mata uang lain karena faktor biaya hidup juga memengaruhi. 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s