Eurotrip, Traveling

Reichstag Dome: Filosofi Kaca

Suhu di Berlin mencapai minus empat derajat celcius siang itu, pada suatu hari di akhir Januari. Udara dingin menusuk sementara pemandangan dipenuhi warna putih karena salju menyelimuti kota. Saya dan Mbak Ami hampir putus asa menunggu antrean untuk mendapatkan tiket masuk ke gedung parlemen Jerman (Reichstag), tepatnya untuk naik ke kubahnya. Untuk dapat memasuki gedung tersebut, sebenarnya tidak dikenai biaya sama sekali alias gratis. Hanya saja pengunjung harus mendaftar terlebih dahulu untuk mendapatkan tiket dan menentukan waktu kedatangan sesuai slot waktu yang masih tersedia hari itu (atau keesokan harinya).

Hal yang membuat tidak nyaman adalah karena kita harus antre di luar ruangan. Jika sudah mendapat giliran, barulah kita bisa masuk ruang tiket. Sayangnya di dalam pun hanya ada dua petugas dan proses validasi sampai mendapat tiket terbilang cukup lama karena melalui pemeriksaan paspor yang cukup ketat. Fiuhh.. Ditambah lagi komputer sempat bermasalah yang menyebabkan waktu tunggu menjadi lebih lama. Jika beberapa jam lagi berada di luar mungkin kami semua sudah berubah menjadi es.

Seorang turis dari Amerika bilang bahwa sebenarnya kami bisa registrasi dan memilih jam kunjungan via internet. Wah, andai saja saya tahu sebelumnya. Tapi ya memang saya dan Mbak Ami tidak merencanakan akan ke gedung itu sebelumnya. Perjalanan ke Berlin ini bisa dibilang hampir tanpa banyak persiapan karena kami baru saja selesai ujian. Beberapa minggu sebelumnya kami hanya sempat memesan tiket dan penginapan, tanpa rincian perjalanan yang lengkap.

Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e9/Reichstag_Dome_at_night.jpg
Kubah terlihat dari luar (sumber: Wikipedia)

Malam harinya, saya dan Mbak Ami kembali ke Reichstag karena kami mendapatkan slot waktu untuk masuk pukul 19.45. Setelah melalui pemeriksaan di pintu masuk, kami dipandu oleh seorang petugas untuk langsung menuju lift dan naik ke kubah. Yang menyenangkan dari tempat ini adalah selain masuknya gratis, disediakan pula audio-guide yang menjadi pemandu kita selama berada di dalam kubah. Jadi kita tak sekadar melihat pemandangan dari kubah namun juga mengetahui sejarah, deskripsi gedung sekitar parlemen yang terlihat dari atas, serta arsitektur gedung dan kubah itu sendiri.

Kubah yang didesain oleh arsitek bernama Norman Foster ini memang terlihat berbeda dan menarik dari luar karena terbuat dari kaca yang transparan. Ketika sudah berada di atas, saya pun dibuat berdecak kagum oleh arsitekturnya. Refleksi dan kilauan kaca dan cermin mungkin menjadi salah satu hal yang menambah kesan megah. Selain itu, terasa sekali detail penempatan cermin yang cukup rumit dan bercita rasa seni. Pada siang hari, kubah kaca ini berfungsi untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam gedung sehingga bisa lebih hemat energi.

DSC00764
Suasana rapat anggota dewan dapat terlihat dari kubah.

Dari kubah, kita juga bisa melihat suasana ruang sidang parlemen yang ada di lantai bawah. Saya terkesan akan filosofi kubah tersebut yang informasinya saya peroleh dari audio-guide. Kaca mencerminkan transparansi, yaitu bahwa parlemen sebagai wakil rakyat sudah seharusnya jujur dan terbuka. Bahwa pengunjung bisa melihat anggota parlemen yang bersidang di bawahnya juga ternyata menandakan bahwa rakyat berada di atas pemerintah. Hal ini tidak berlaku pada saat Jerman berada di bawah pemerintahan sosialis. Tahun ini adalah lima belas tahun setelah konstruksi kubah parlemen ini selesai, kubah yang dibangun sebagai simbol reunifikasi Jerman yang dulunya terbagi menjadi bagian barat dan timur.

Saat keluar dari Reichstag, saya bilang kepada Mbak Ami bahwa tempat ini akan menjadi salah satu tempat favorit saya di Berlin. Mungkin saya jatuh cinta pada filosofinya. Mungkin saya rindu pada idealisme bahwa rakyat berada di atas pemerintah, bahwa anggota parlemen adalah wakil rakyat, bahwa wakil rakyat sudah semestinya amanah. Saya mencintai ide bahwa parlemen memang rumah rakyat. Dan di kubah Reichstag itu saya merasakannya.

1865143963390123180513

13 thoughts on “Reichstag Dome: Filosofi Kaca”

Leave a reply to arielkahhari Cancel reply