
Siapakah gerangan pria bernama Gustav Rau?
Itulah pertanyaan pertama yang muncul saat kali pertama masuk ke Groninger Museum kemarin siang. Pasalnya Groninger Museum bekerja sama dengan The United Nations Children’s Fund (UNICEF) saat ini sedang memamerkan koleksi lukisan (yang dahulunya) milik Gustav Rau.
Gustav Rau (1922-2002) lahir di Stuttgart, Jerman. Ayahnya adalah seorang pengusaha di industri mobil. Karena ia merupakan anak satu-satunya, setelah menyelesaikan sekolah ia diminta melanjutkan mengurus perusahaan ayahnya. Rau mengikuti permintaan ayahnya namun beberapa tahun kemudian ia menjual perusahaan itu demi menunaikan panggilan hatinya.
Rau kemudian belajar ilmu kedokteran dan bekerja untuk kemanusiaan di negara-negara Afrika. Kecintaannya pada dunia seni membuat ia selalu menyempatkan untuk hadir di pameran maupun lelang berbagai lukisan dari karya Fra Angelico sampai Monet, sebagaimana tajuk pameran ini: ‘Natural Beauty – from Fra Angelico to Monet (Rau Collection for UNICEF)’.
Sebenarnya tidak banyak yang mengetahui aktivitas Rau dalam mengoleksi karya-karya seni sampai pada tahun 2001 ia menyumbangkan koleksinya kepada UNICEF. UNICEF mendapatkan hak untuk mengadakan pameran maupun melelang berbagai lukisan yang nantinya digunakan untuk membiayai berbagai aktivitas untuk kemajuan anak-anak di seluruh dunia.
Lanskap
Pameran koleksi Gustav Rau ini didominasi lukisan lanskap dan benda mati (still life). Bagi saya, yang menarik dari menikmati sebuah lukisan bukan hanya dari keindahan lukisan itu sendiri namun juga kisah yang ada di baliknya.

Di beberapa ruangan, saya menyaksikan banyak lukisan lanskap yang indah. Beberapa pelukis menggambarkan lanskap yang umum dapat dilihat dan dimikmati semua orang, seperti laut, danau, jalanan di sebuah desa, dan lainnya. Ada pula satu ruangan yang memamerkan lukisan lanskap pada masa keemasan Belanda (Dutch golden age) pada abad-17. Bagi orang-orang yang cukup kaya pada saat itu, alam merupakan tujuan untuk melepas rasa lelah dan bosan serta menemukan kedamaian di setelah bergelut dengan berbagai kesibukan. Sebagian dari mereka memiliki rumah peristirahatan di pedesaan, sebagian memiliki taman yang cukup luas.
Vanitas
Saat saya berdiri di sebuah ruangan yang memamerkan karya-karya pada masa keemasan Belanda, seorang pria berkata kepada saya, “Vanitas vanitatum omnia vanitas. You know what it means? It’s all about vanity” Kebetulan saya baru saja membaca deskripsi lukisan-lukisan di ruangan itu dan kata ‘vanity’ memang banyak disebut. Ia lalu menjelaskan sesuatu yang cukup njelimet tentang akar kata dan maknanya. Saya berusaha mencerna. “Do you study Letters?” Sepertinya ia membaca kebingungan saya. “No..” “Oh sorry then.. I talked too much,” katanya sambil tersenyum. Jika diterjemahkan secara harfiah, vanity berarti keangkuhan, kesombongan, atau kebanggaan yang berlebihan.


“Vanity of vanities, says the Preacher; vanity of vanities, all is vanity” – Ecclesiastes (sebagaimana ditulis pada deskripsi di ruangan tersebut)
Lukisan di ruangan tersebut kebanyakan merupakan lukisan benda mati yang cukup detail di antaranya dengan objek hidangan makanan dan minuman serta berbagai perabotnya, berbagai daging dan hasil buruan (kebanyakan menampilkan burung), bunga dan vasnya, dan yang terakhir menampilkan beda mati dengan tengkorak. Mengapa tengkorak?
Masa keemasan berarti kehidupan yang cukup mapan dan terpenuhinya berbagai kebutuhan. Pada masa itu, banyak hal yang diukur dengan materi dan orang berlomba-lomba untuk memamerkannya. Di tengah itu semua, muncul pula pengaruh Calvinism yang menekankan bahwa tidak seharusnya orang-orang terlalu mementingkan hal yang bersifat materi (saya teringat sewaktu belajar Sejarah Pemikiran Ekonomi dulu, banyak juga pemikiran ekonom yang mendapat pengaruh dari ajaran Calvinism). Dari situlah muncul aliran vanitas still life dengan objek utama tengkorak. Saya memaknainya bahwa pada akhirnya kita akan mati tanpa mambawa materi apapun yang kita miliki di dunia. Semua itu fana.
Dan yaaa..semua itu membuat saya berhenti sejenak dan berpikir. Are we living in vanity?
Aku pernah lihat karyanya Rau yang still lige tengkorak itu tapi baru tahu karya lainnya dia setelah baca pos ini.
Menarik ya Calvinisme. Adat istiadat dan tata krama, tata pergaulan di Belanda itu berdasarkan Calvinisme. Doe maar gewoon en doe je gek genoeg. Menarik Cha!
LikeLike
Oh aku baru tahu mbak bahwa adat istiadat di Belanda hingga saat ini berdasar Calvinisme. 🙂
Btw Rau itu kolektornya, tapi bukan dia yang melukis.
LikeLike
Ke sini dari postingan yang baru terbit dan belajar banyak tentang Gustav Rau, still-life art dan tahu kalo adat istiadat Belanda berdasar Calvinisme dari komennya Mbak Yo. Hihihi. Makasih Mbak. 🙂
LikeLike