Books, Review

Tetralogi Buru: Rumah Kaca

rumah kacaKejutan!!
Itulah yang akan terasa pada lembar-lembar awal buku terakhir dari Tetralogi Buru. Apakah gerangan kejutan itu?

Setelah tiga episode sebelumnya cerita terpusat pada seorang Minke sebagai tokoh sudut pandang orang pertama, di buku ke-4 ini Pram menghadirkan sosok Pangemanann (dengan dua “n”) sebagai tokoh pencerita. Pangemanann sendiri pernah hadir dalam bagian akhir buku “Jejak Langkah”. Ia adalah seorang pejabat kepolisian yang mengabdi pada Gubermen Hindia Belanda.

Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang gamang. Pada dasarnya, ia adalah seorang yang baik, seorang Menado yang mendapat pendidikan Eropa dan dibesarkan oleh orang tua angkat asal Eropa pula. Ia menghormati kebebasan dan tak suka penindasan. Sebagai pribadi, ia pun menghormati dan mengagumi seorang Pribumi bernama Minke yang telah membawa banyak perubahan pada semangat pergerakan melawan kolonialisme. Namun, pengabdiannya pada Gubermen ternyata membawanya pada suatu tugas dilematis yang kemudian mengubahnya bagai seorang iblis kejam yang tak pernah mengizinkan Pribumi maju seiring dengan zaman dan pemikiran yang semakin modern.

Setelah berhasil menumpas gerombolan si Pitung di Betawi, ia mendapat banyak pujian dan penghargaan, sekaligus membuat dirinya merasa bersalah karena pemberontakan Pitung tak lain adalah respon dari kekejaman kolonial juga. Ditambah lagi ia ditugaskan sebagai tenaga ahli pada badan khusus untuk mengawasi pergerakan Pribumi beserta orang-orang yang berpengaruh, untuk kemudian dicari jalan untuk membendungnya. Ia menamakan kegiatan itu sebagai praktek pe-Rumah Kaca-an. Dan tak lain adalah Minke, tokoh pertama yang masuk ke dalam Rumah Kaca-nya.

Peralihan tokoh orang pertama dari Minke menjadi Pangemanann mungkin menimbulkan rasa bosan ataupun rindu pada sosok Minke yang hanya sesekali diceritakan, karena Minke sendiri setelah masuk ke dalam Rumah Kaca, ia dibuang jauh ke luar Jawa oleh pemerintah kolonial. Diasingkan dan disiksa dalam berbagai batasan yang menyakitkan seorang yang biasa menulis, mengeluarkan pendapat, dan berbicara dengan lantang membela yang harus dibela. Ia terkucil dan terbuang, namun ia tetap bersama harga diri dan kebesarannya.

Rasa jengkel tak pelak lagi selalu muncul pada tokoh bernama Pangemanann ini. Di sisi lain, terkadang kesadarannya sebagai manusia baik-baik muncul. Rasa terpelajarnya muncul mencaci maki kelakuan kolonial yang kini menyatu dalam dirinya. Namun lewat buku ini, Pram begitu baik menggambarkan betapa ketika sekali orang terjerumus dalam penghambaan pada kekuasaan kolonial, ketika orang itu begitu tergila-gila pada kekuasaan dan jabatan, maka ia akan selalu menutup satu kejahatannya dengan kejahatan yang lain, begitu seterusnya… Dan Pangemanann ini pada akhirnya harus kehilangan semua hal dalam hidupnya, termasuk harga diri, demi menjaga jabatan dan nama baiknya.

Pram, dalam keempat bukunya ini, juga begitu meninggikan derajat kaum perempuan. Banyak sosok yang turut mewakili kehebatan kaum perempuan, antara lain Nyai Ontosoroh, Painah, Ang San Mei, Gadis Jepara, Prinses Van Kasiruta, Siti Soendari, sampai dua orang pembantu rumah tangga yang setia dan mulia, yakni pembantu Prinses dan pembuantu Pangemanann. Mereka hebat dengan caranya masing-masing.

Buku ini membuat Tetralogi Buru menjadi sempurna. Menyempurnakan sebuah fragmen penting dalam sejarah Indonesia yang seringkali dilupakan orang, tak gamblang dan mendalam dituliskan dalam buku-buku teks pelajaran Sejarah, tidak pula dalam karya sastra lainnya. Juga melalui keempat buku ini kita diperkenalkan pada tokoh pahlawan terlupakan seperti Minke yang mempunyai nama asli Raden Mas Tirtoadisoerjo.

Melalui penelusuran dokumen-dokumen sejarah, Pram telah berhasil menyulapnya menjadi sebuah karya sastra yang begitu fenomenal. Membangun imajinasi di satu sisi, namun mempertahankan nilai-nilai sejarah di sisi lain.

Banyak yang berkomentar, “Wah, bukunya Pram kan berat…”
Memang begitu adanya. Toh hidup ini memang tak selalu mengenai hal-hal ringan saja. Bukankah begitu?

1865143963390123180513

Advertisement

11 thoughts on “Tetralogi Buru: Rumah Kaca”

    1. Terima kasih, An. 🙂

      Iya betul.. nama sebuah pulau tempat Pram nulis tetralogi ini. Waktu itu beliau menjadi salah satu tahanan politik G30S yang ditangkap dan ditahan tanpa pernah diadili. Tetraloginya sendiri tidak menceritakan sama sekali tentang Pulau Buru. Kalau mau baca, ada novel berlatarkan kejadian penahanan di sana, judulnya Amba.

      Like

  1. saya tidak terlalu suka buku ini. menurut saya jadi menurunkan aliran cerita dari buku kesatu sampai ketiga.

    Like

    1. Masa sih sampai menurunkan, Mas? Hehe..
      Emang buku ini punya rasa yang berbeda sih, mungkin disebabkan sudut pandang penceritaan juga. Kalau aku ngerasanya di tiap buku emang ada perubahan-perubahan. Misalnya dari buku pertama sampai ketiga si Minke yang cerita dan selama itu juga ada perkembangan pemikiran dalam dirinya sendiri. But this tetralogy is still one of my favorites. 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s