“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Telah lebih dari lima tahun setelah saya menutup laman terakhir dari buku yang merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini. Sebuah perasaan yang saat itu muncul adalah: saya ingin segera melanjutkan membaca buku berikutnya.
Ada bagian dari hidup ini yang kita tak bisa terlepas darinya. Dialah SEJARAH. Kisah ini berlatar akhir tahun 1800-an, ketika Belanda masih berkuasa di atas negeri kita. Adalah Minke, seorang pribumi Hindia yang berkesempatan mengenyam pendidikan ala Belanda. Ia adalah anak seorang bupati yang sama sekali tak bercita-cita menjadi bupati seperti yang diimpikan kebanyakan anak seorang petinggi pribumi. Hasil didikan Belanda telah membuatnya berpikir bebas dan merasa terkekang oleh tradisinya sendiri, tradisi Jawa yang menurutnya banyak merendahkan harkat manusia itu sendiri, karena orang harus bersujud-sujud kepada orang lain yang pangkat dan derajatnya lebih tinggi.
Begitu lama Minke hanyut dalam kekagumannya terhadap apa yang terjadi di luar Hindia, ia kagum akan banyak temuan-temuan baru oleh orang Eropa sana. Baginya, ilmu pengetahuan adalah segalanya!
Dalam perjalanannya, Minke bertemu dengan seorang gadis Indo yang cantik, Annelies namanya. Selain terpesona akan kecantikan Annelies, Minke juga dibuat terperangah oleh kecerdasan ibu Annelies, yaitu Nyai Ontosoroh, seorang wanita yang banyak diperbincangkan dan mungkin juga dicap buruk oleh banyak orang karena ia adalah seorang Nyai, panggilan untuk gundik Belanda. Namun Nyai Ontosoroh jauh berbeda dari yang Minke kira sebelumnya. Nyai itu cerdas, berpengetahuan luas, pekerja keras, dan sangat berwibawa.
Cerita bergulir seputar kehidupan pribadi Minke dan konflik di sekitarnya. Tentang pergolakan bantinnya terkait kemajuan Eropa serta banyak intrik dan tokoh lain yang membuatnya tak pernah berhenti berpikir. Minke cukup peka akan apa yang terjadi di sekitarnya, dan ia mulai menulis. Minke yang cerdas menulis apa saja dalam bahasa Belanda, dan tulisannya banyak dimuat di surat kabar Belanda. Sampai suatu waktu ia dan orang-orang yang disayanginya diterkam oleh ketidakadilan Belanda. Dibunuh oleh ketidakadilan hanya karena satu alasan: ia adalah PRIBUMI yang tidak mempunyai hak sebagaimana orang Belanda totok ataupun Indo.
Roman ini merupakan hasil karya Pramoedya Ananta Toer ketika ia dipenjara di Pulau Buru. Sebelum selesai ditulis pada tahun 1975, ia telah menceritakannya secara lisan pada tahun 1973. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diterbitkan di banyak negara di antaranya Amerika Serikat, Australia, Spanyol, Italia, Jepang, dan Rusia. Penulisnya pun telah banyak mendapatkan penghargaan internasional.
Membaca Tetralogi Buru akan membuat kita lebih mengenal sejarah bangsa kita secara dekat dan mengalir, bukan seperti cerita kaku di buku-buku sejarah. Buku ini begitu menyentuh nurani kita sebagai bangsa Indonesia, agar lebih mengenal sejarah sendiri, tak sekadar duduk-duduk bersandar menikmati kebebasan kita hari ini.
Tengkiu Cha, bakalan gw cari nih buku, secara bokap lahir di Pulau Buru hahaaa
LikeLike
Sama2 mbak Fe. Kalau novel Amba udah baca belum? Itu malah cerita tentang Pulau Buru.
LikeLike
Icha, Waktu aku tinggal di Indonesia karya pak Pram dilarang pemerintah. Sebagai mahasiswa sastra, sering baca beberapa bab bukunya yang dijual sembunyi2 dalam bentuk stensilan. Ironisnya aku baca hampir semua karyanya dia dalam bahasa Belanda, termasuk Bumi Manusia (Aarde der Mensen). Tahun 2011 aku baru bisa beli bukunya pak Pram bahasa Indonesia di toko buku di Jakarta. Pak Pram salah satu sastrawan hebat dari Indonesia!
LikeLike
Dulu banyak ya buku2 yang dilarang terbit. Aku juga denger dari Papa kalo buku2nya Pram termasuk di antaranya. Bener banget, mbak, luar biasa ya karya-karyanya. Nggak heran kalau sudah diterjemahkan ke banyak bahasa, Aku suka kepikiran biar belajar sejarah nggak membosankan, harusnya guru sejarah menugaskan muridnya baca dan meresensi novel berlatar sejarah ya. 🙂
LikeLike
Setelah baca buku Pram, aku jadi suka sejarah, padahal dulu males banget sama pelajaran ini pas sekolah. 🙂
LikeLike
Ya karena emang beda ya baca novel sama baca textbook sejarah. Bikin ngantuk hehe..
Di buku ketiga dan keempat tetralogi ini sebenernya juga udah mulai banyak nama (tokoh sejarah) dan tanggal karena Minke udah mulai masuk dunia jurnalistik dan kemudian politik. Kadang aku balik ke halaman2 sebelumnya buat ngecek si tokoh ini tuh siapa krn agak lupa haha..
LikeLike
Padahal lebih tebel ini lho, dari buku2 sejarah…haha
Iya, semenjak kematian Annelis (yang bikin gw sedih banget) mmg kisahnya beralih ke pergerakan nasional yaa,
wah, memang butuh lebih dari sekali baca untuk ngertiin ni kesluruhan, gw ngebayangin gimana dulu Pram bikinnya ya, konon di P.Buru dia nyeritain ini ke tahanan lain supaya gak lupa..
LikeLike
setelah Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, buku ini menurut saya adalah karya Pramoedya yang terbaik. kedalaman jejak sosial sejarah awal abad ke-20 secara luar biasa dituangkan dalam buku ini.
LikeLike
oh iya, satu quote yang saya ingat betul dari buku ini adalah, “seorang terpelajar itu sudah harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. very wise.
LikeLike
Yap! The quote of all time. 🙂
LikeLike