“Semua yang terjadi di kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir” (Pramoedya Ananta Toer)
Anak Semua Bangsa adalah episode kedua dari Tetralogi Buru. Di awal cerita – yang merupakan lanjutan dari buku sebelumnya – saya sudah hanyut dan banjir air mata mengetahui kelanjutan nasib Minke, Annelies, dan keluarganya yang diperlakukan tidak adil oleh Belanda. Jika dalam buku pertamanya, Bumi Manusia, cerita lebih fokus pada masalah pribadi dan pencarian jati diri seorang Minke, maka di buku kedua ini metamorfosis dirinya begitu terasa.
Konflik muncul ketika sahabat Minke, Jean Marais, memintanya menulis dalam bahasanya sendiri, Bahasa Melayu. Entah mengapa Minke merasa bahasa itu lebih rendah daripada Bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya. Konflik batin belum berhenti karena Minke terusik oleh kata-kata seorang jurnalis bernama Kommer yang mendakwanya tidak mengenal bangsa sendiri. Minke marah, namun juga tak kuasa mengelak akan kebenaran kata-kata Kommer tersebut. Ya, Minke mungkin tak banyak mengenal bangsanya sendiri. Selama ini ia hidup nyaman sebagai putra seorang bupati dan tak terlalu peduli akan kehidupan rakyat kelas bawah. Kalaupun ia pernah menentang Belanda, selama ini ia lakukan semata-mata untuk membela pribadinya sendiri.
Minke melakukan perjalanan ke sebuah desa yang terletak agak di pedalaman dan ia pun melihat bagaimana kehidupan yang sebenarnya. Ia baru menyadari bagaimana tertindasnya para petani, yang sebelumnya hanya ia tahu dalam tulisan Multatuli. Ia malu pada dirinya sendiri dan pada rakyat kelas bawah itu. Ia malu karena ia belum bisa melakukan apa-apa untuk membela mereka. Sebagai seorang penulis, maka langkah pertamanya untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat yang tertindas adalah dengan menyuarakan penderitaan-penderitaan mereka melalui media. Namun sayang, Minke dikecewakan oleh Marteen Nijman, redaktur surat kabar dimana ia biasa menulis yang sudah ia anggap sahabat dan guru yang baik.
Semakin jauh saya menyelami cerita ini, maka seolah saya semakin dekat dengan tokoh-tokohnya. Dan saya merasa begitu dekat dengan sejarah. Tentunya setiap penulis memiliki gaya yang berbeda-beda. Jika Anda pernah membaca karya Ahmad Tohari, mungkin Anda akan terkesima oleh kemampuannya mendeskripsikan suasana sehingga tampak begitu nyata. Dalam karya Pramoedya Ananta Toer ini, saya merasakan kekuatannya ada pada dialog-dialog yang begitu membakar semangat dan membuat pembacanya senantiasa berpikir kritis.
Saya juga lagi suka baca bukunya Pak Pram ini mba, tapi belum baca tetralogi Buru. Trims reviewnya mb next stop saya akan borong serinya
LikeLike
Sama-sama, Mbak Intan. Makasih ya sudah baca. Seru banget bacanya.. Walau tebal bukunya tapi bikin penasaran terus.
LikeLike