Eurotrip, Traveling

Cerita Sepeda

Hari ini sudah hampir dua minggu saya tinggal di Groningen, Belanda. Kota ini tak sebesar Amsterdam atau Den Haag, namun merupakan kota terbesar di Belanda bagian utara. Kali pertama saya mengabarkan atasan saya di kantor bahwa saya akan melanjutkan sekolah di University of Groningen (RUG), ia berkomentar sambil bergurau, “Dari Jogja ke Groningen… Sama-sama desa, Cha..” Hehe…

Bisa dibilang ya Groningen ini semacam Jogja. Kotanya nyaman, tidak terlalu padat, namun fasilitas sangat lengkap. Groningen juga disebut sebagai the City of Talent yang mendorong riset, inovasi, dan kewirausahaan. Seperti pernah saya ceritakan di tulisan sebelumnya (klik di SINI), mahasiswa internasional di RUG mencapai sekitar 1500, belum lagi mahasiswa internasional di universitas lainnya di Groningen, yaitu Hanze University. Hmm..bisa disebut Kota Pelajar sekaligus bertemunya mahasiswa dari belahan dunia ya. 🙂

Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa Belanda sangat dikenal dengan budaya bersepeda. Bagi saya ini sangat menyenangkan karena di sini sepeda punya jalur sendiri di jalan raya, bahkan banyak jalur khusus sepeda yang membuat jarak dari satu tempat ke tempat lain lebih dekat. Dan dari segi keuangan, tentu saja bersepeda bisa menghemat uang saku daripada naik bis setiap hari (kalau pakai karcis biasa, ongkosnya 2 euro dan bisa digunakan kembali hanya dalam jangka waktu satu jam). Karena bersepeda sudah menjadi detak jantung kehidupan di sini, di sekitar stasiun saja pemerintah kota Groningen menyiapkan kurang lebih 9500 rak sepeda. Tentu itu belum termasuk rak sepeda lain yang tersebar di seluruh kota dan gratis, 😀

Pada hari pertama saya di Groningen, saya mengirimkan email di milis Persatuan Pelajar Indonesia Groningen (PPIG). Isinya adalah menanyakan siapa tahu ada teman-teman yang akan menjual sepedanya. Alhamdulillah tak lama kemudian saya langsung mendapatkan respon dari salah seorang anggota milis yang tak lain merupakan dosen saya di FEB UGM. Hehe.. Keesokan harinya, saya ke rumah beliau untuk melihat sepeda dan jika cocok bisa langsung dibawa pulang.

Pertama mencoba sepedanya, saya berkomentar, “waaah…tinggi banget!!” Maklum selama ini kalau naik sepeda biasanya yang kakinya langsung sampai meskipun saya duduk di sadel sepedanya. Sedangkan sepeda baru ini, saya harus mengayuh dulu, baru bisa duduk manis. Tapi lama-lama saya terbiasa dan itu bukan masalah. Malah orang-orang yang melihat saya bersepeda bilang, “sepeda Icha tinggi banget!” Entahlah sepedanya yang ketinggian atau orangnya yang kependekan hahaha..

Jalan-jalan sore bersama Rubi
Jalan-jalan sore bersama Rubi
Rubi di sekitar Martini Church
Rubi di sekitar Martini Church

Akhirnya pada hari kedua itu sepeda tersebut resmi menjadi pendamping hidup saya di Groningen. Perkenalkan, namanya Rubi. Banyak yang mengira nama itu diambil dari nama batuan yang indah. Padahal nama itu muncul dari ke-tidakkreatif-an saya yang membalik kata ‘biru’ jadi ‘rubi’. Haha.. Biru adalah warna sepedanya sekaligus warna favorit saya, jadi boleh dong diabadikan menjadi nama sepeda. 😉

Berikut beberapa fakta bersepeda berdasarkan pengalaman saya selama dua minggu pertama:

1. Hampir semua orang punya sepeda, dari yang bagus sampai yang biasa saja. Tapi sepeda tetap menjadi incaran para pencuri sehingga sepeda harus dikunci ganda (kunci ban belakang dan menggembok rangka sepeda ke rak sepeda).

2. Sepeda adalah raja. Mobil akan berhenti dan mempersilakan sepeda jalan terlebih dahulu kecuali di jalan tertentu dimana terdapat tanda segitiga (artinya sepeda harus menunggu mobil yang lewat).

3. Saking banyaknya sepeda, saat rak sepeda sudah penuh, orang-orang suka menyandarkan sepedanya di tiang dan batang pohon agar rangka sepedanya bisa digembok ke kedua benda tersebut (karena kalau tidak dikunci ganda, sepedanya bisa diangkat si pencuri). Padahal menurut peraturan yang saya baca, sebenarnya ada larangan memarkir sepeda di tiang-tiang yang merupakan fasilitas publik seperti rambu lalu lintas, lampu, dll. Tapi saya juga pernah sih parkir di pohon haha… habisnya Academy Building rame banget. :p

Sepeda di depan Universiteti Bibliotheek (University Library)
Sepeda di depan Universiteti Bibliotheek (University Library)

4. Sudah bersepeda jauh, tapi mana keringatnya? Haha… Ya gimana mau berkeringat ya udaranya sejuk begini. Dua hari pertama bersepeda, saya sama sekali tak berkeringat. Tetapi malam harinya cepat ngantuk karena kelelahan dan belum terbiasa. Besok paginya pas bangun tidur juga kaki langsung pegal-pegal. Hehe..

5. Lambaikan tangan sebagai tanda berbelok. Nah ini persis pengendara motor di Indonesia yang suka melambaikan tangan kiri atau kanan padahal sudah ada lampu sen (sign). Karena di sini jalur kendaraan ada di kanan, terkadang orang yang mau belok kanan ya langsung saja tanpa memberi tanda. Tetapi jika hendak belok ke arah kiri namun tidak memberi tanda, siap-siap saja disemprot sama orang Belanda. Hehe… Kadang saya juga masih ragu saat hendak berbelok di persimpangan jalan raya yang ramai, kalau salah ya paling langsung minta maaf aja. :p (dan berjanji tidak akan mengulang lagi).

6. Hampir semua sepeda memiliki tas sepeda di belakang atau keranjang di bagian depan. Ini sangat berguna untuk membawa barang, belanjaan, maupun anak kecil, jadi pesepeda fokus mengayuh saja. 😀

Sekian dulu deh ceritanya. Pasti besok-besok ada cerita lagi tentang sepeda. Doakan ya semoga Rubi bisa menemani saya hingga akhir studi di sini.

 

Ps. Artikel dan video menarik dan informatif tentang budaya bersepeda di Groningen bisa juga diintip di SINI dan di SINI ya. 🙂

Cheers,

1865143963390123180513

35 thoughts on “Cerita Sepeda”

    1. Iya endaaah.. Andaikan di Indonesia juga bisa begitu. Kalau di Jogja sih setahuku memang sudah ada jalur alternatif sepeda. Hanya saja memang tempat parkir dll masih belum seperti di sini. 🙂

      Like

      1. elusin si rubi ye kak, biar gak capek dibawa sepedaan *eeaaa 😀
        klo di jogja emang ada jalur khususnya tp tetep aja dipake motor dll 😀
        yg susah tempat parkirnya 🙂

        Like

    1. Alhamdulillah sejauh ini aku merasa nyaman, guh. Dan karena di Belanda cukup banyak imigran muslim, tidak terlalu sulit mencari toko bahan-bahan makanan yang halal (asal mau masak aja. haha..). Makasih doanya ya. 🙂

      Like

  1. wah, mantep banget ya mba Icha. 😀
    sepeda lebih diutamakan dr mobil… berbanding terbalik dgn Jogja. sya kapok bersepeda d jalan raya klo d Jogja, mobilnya mepet2, ga mau kasih ruang.

    Like

      1. Hahaha iya kamu ngarep …. Kalo gak dinginnya ya pas Juli- Agustus doank, sekarang udah mulai masuk fall season, belakangan suhunya udah 11-15 derajat celcius 😀

        Like

  2. Aku pertama kali ke Belanda takjub lihat para orang tua mengangkut anaknya disepeda, kadang 1 didepan 1 dibelakang dengan barang belanjaan ditas kiri kanan boncengan. Sekarang aku sendiri kaya gini 🙂

    Ada loh fietsroutenet disini sampe Belgia kalo kuat.

    Ngomong – ngomong itu zadel sepeda ngga bisa disetel?

    Coba deh Google bakfiets. Ini sepeda pake gerobak kayu didepan, mungkin udah pernah liat. Lagi hit disini.

    Like

    1. Iya, Mbak.. Suka lihat ibu2 bawa dua anak dan banyak belanjaan. Dan takjub juga melihat mereka bersepeda sambil multitasking bawa barang lain yang ga cukup di tas sepeda, misalnya sambil gerek koper di sebelahnya (pas mau ke stasiun), bawa kardus di belakang, dll. Expert! 😀

      Menurut pemilik sepeda sebelumnya, itu sadel udah paling rendah. Waaah..kalo dari Groningen ke Belgia lumayan juga tuh. Haha..

      Like

Leave a comment