“Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata.”
[Raden Ajeng Kartini, dalam suratnya kepada Rosa Manuela Mandris Abendanon (saya lupa tahunnya, quote ini saya catat dari buku biografi Kartini yang saya baca lebih dari setahun lalu)]
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
[Surat Raden Ajeng Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
Saya mengenal tokoh Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904, selanjutnya saya sebut Kartini) semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Akh, cukup berlebihan mungkin kalau dibilang kenal. Saya sekadar tahu namanya dan hapal lagunya. Dahulu saya mengenalnya sebagai pejuang wanita yang memperjuangkan emansipasi wanita (kata guru saya sih begitu, tetapi makna emansipasi itu sendiri pada saat itu saya tak begitu paham) dan menulis surat-surat yang kemudian dibukukan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Namun, saya baru membaca surat-suratnya pada awal tahun 2012 lalu (better late than never :D). Kebetulan ada buku biografi Kartini kiriman seorang kawan untuk sekolah tempat sayang mengajar, SDN 4 Telukjatidawangm Pulau Bawean. Buku tersebut berisi surat-surat Kartini kepada beberapa kawannya yang orang Belanda.
Saya tidak mau ikut-ikutan dalam perdebatan tentang emansipasi dan feminisme. Ah tahu apa saya tentang itu semua? Saya hanya membaca surat Kartini apa adanya, surat seorang perempuan yang ingin maju, ingin belajar, dan ingin mengangkat martabat perempuan sebangsanya.
Saya jatuh cinta pada pandangan Kartini tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. Kartini sudah pasti tak membayangkan yang namanya wanita karir, wanita yang bekerja kantoran 8 jam sehari, terkadang bahkan harus lembur dan dinas luar kota. Tidak. Yang ada di benak Kartini adalah bahwa pendidikan menjadi penting bagi perempuan karena perempuan akan menjadi pendidik yang pertama bagi anak-anaknya, generasi penerusnya. Dan yang perlu digarisbawahi, pendidikan bagi perempuan bukan dimaksudkan untuk bersaing dengan laki-laki.
Semasa hidupnya yang tak lama itu, Kartini sempat mendirikan sekolah bagi para perempuan di lingkungan sekitarnya, saat sebelum menikah dan sesudah menikah. Ia menikah pada tahun 1903 dengan Bupati Rembang bernama Joyodiningrat yang saat itu telah memiliki tiga istri (praktek poligami sangat lumrah di kalangan aristokrat pada masa tersebut). Pada awalnya Kartini menentang perjodohan dengan Bupati Rembang itu. Dari kecil Kartini sudah melihat bagaimana ibunya ‘berbagi suami’ dengan wanita lain. Ibu Kartini, Ngasirah, adalah istri pertama dari ayahnya, namun karena ibunya bukan berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan berkedudukan, ayahnya menikah lagi dengan Woerjan yang masih ada keturunan Raja Madura.
Selain itu, tak lama sebelum perjodohan, sebetulnya Kartini mendapat tawaran untuk bersekolah di Belanda, suatu hal yang tentu ia impikan. Kartini mengungkapkan dalam beberapa suratnya bahwa ia sangat ingin ke Belanda namun ayahnya sedang sakit keras dan menginginkannya menikah dengan Bupati Rembang. Dalam pilihan sulit itu, Kartini merelakan melepas cita-citanya bersekolah ke Belanda dan menuruti kehendak ayahnya (saya hampir menangis saat membaca bagian ini…). Saya tidak mau mengatakan ia lemah ataupun pasrah, namun ia justru berjiwa besar. Hal yang ia tanyakan sebelum menikah dengan Joyodiningrat adalah apakah ia masih boleh membuka sekolah untuk para perempuan, dan ia ternyata diizinkan.
Intinya, saya memetik hikmah dari kisah hidup dan pemikiran Kartini. Sejak dulu, sebelum saya membaca surat-suratnya, saya memang tak pernah berpikir untuk bersaing dengan laki-laki. Masing-masing punya tugas dan peran yang saling melengkapi. Makanya saya malas cuap-cuap tentang emansipasi wanita tiap memeringati hari kelahiran Kartini, dimana secara tahunan orang-orang berdebat tentang pro dan kontranya. *asik ngunyah kacang goreng*
Saya kurang paham dalam agama lain bagaimana. Kalau dalam Alquran disebutkan di antaranya, “…Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS Ali Imran: 195). Selain itu, disebutkan pula bahwa, “mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Albaqarah: 187).
Kalau meminjam istilah ilmu ekonomi, perempuan dan laki-laki itu sifatnya bukan substitusi, melainkan komplementer. Hehe.

Kembali ke peran perempuan, saya merasa apapun bidang pendidikannya, tak akan ada ilmu yang sia-sia karena sesungguhnya pendidikan (yang ideal) itu mengajarkan CARA berpikir (HOW to think), bukan APA yang harus dipikirkan (WHAT to think). Dan cara berpikir itu juga akan berguna saat seorang perempuan membesarkan anak-anaknya. Oleh karenanya, di samping banyak cita-cita yang lain, cita-cita terbesar saya adalah ingin menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Terdengar sederhana? Tapi saya yakin butuh kerja keras untuk mencapainya. Sementara itu, peran saya di luar keluarga adalah sebuah bentuk tanggung jawab bagi sesama atas ilmu yang saya miliki.
Bismillah.
* Kenapa foto tersebut yang dipajang di tulisan ini? Bisa dibilang bahwa selama setahun mengajar di Pulau Bawean, saya semakin sadar peran ibu bagi perkembangan anak-anaknya. Karena bagaimanapun saya sebagai guru tidak punya waktu sebanyak anak-anak dengan ibunya (atau siapapun yang mengasuhnya di rumah). Dan pengasuhan di rumah itulah yang paling banyak memengaruhi perkembangan dan perilaku anak. Salah satu ceritanya bisa dibaca di SINI.
setuju. seorang perempuan memang harus pintar buat bekal mendidik anak-anaknya nanti
LikeLike
bagaimana postingan seperti ini klo pas bulan april saja..hehehehehe 😀
LikeLike
Nanti bisa direpost hehe.. Thanks. 😀
LikeLike
oce deh kak 🙂
LikeLike
jadi bangga jadi perempuan..
LikeLike
keren, to lead is to inspire
LikeLike
yes, indeed.. 🙂
LikeLike