Indonesia, Traveling

[SumateraTrip-12] 24 Jam Terlama

(Cerita sebelumnya di SINI)

Saya tahu saya tidak pantas mengatakan 24 jam adalah waktu yang lama untuk sebuah perjalanan. Banyak orang di dunia ini yang membutuhkan waktu berpuluh-puluh jam untuk mencapai tempat yang dituju, bahkan dengan moda transportasi yang paling tidak nyaman. Kini setiap kali saya melihat bus lintas Sumatera, atau bahkan Jawa-Sumatera, saya memandang para penumpangnya dengan penuh penghormatan. Mereka punya daya tahan dan kesabaran yang luar biasa.

Cerita dimulai pada suatu siang yang gelap dan diguyur hujan. Saya menelepon agen bus Bukittinggi-Medan di Terminal Bus Aur Kuning, Bukittinggi.

“Pak, saya Icha yang kemarin telepon. Saya mau konfirmasi saja, kemarin saya sudah pesan bus Bukittinggi-Medan untuk sore ini,” ucap saya.

“Wah tapi bus ke Medan sudah penuh,” jawabnya santai.

“Kemarin saya telepon ke nomor ini, Pak, menanyakan apakah saya harus langsung datang untuk memesan tiket. Katanya cukup via telepon saja.” Saya mulai was-was.

Bapak di seberang sana kemudian menutup telepon setelah sebelumnya mengatakan bahwa ia akan melakukan pengecekan ulang. Saya yang sudah membereskan semua barang bawaan ke dalam ransel tiba-tiba lunglai. Kalau sore ini tidak dapat bus ke Medan berarti saya harus menunggu sampai besok sore. Waktu sehari saya terbuang sementara masih ada beberapa kota yang ingin saya kunjungi.

Sekitar 15 menit kemudian, ponsel saya berbunyi dan petugas tadi berkata bahwa saya bisa berangkat ke Medan. “Saya dapat duduk kan, Pak?” saya bertanya untuk meyakinkan. Petugas itu mengiyakan.

Suasana Terminal Aur Kuning, Bukittinggi
Suasana Terminal Aur Kuning, Bukittinggi

Terminal Aur Kuning sore itu terlihat tak karuan. Becek, orang kesana-kemari, dan bus terparkir tak rapi. Saya menuju kantor Agen Bus Kurnia. Petugas yang menerima telepon saya tadi ternyata adalah seorang bapak tua. Pembawaannya ramah dan hangat. Ia bilang bahwa kemarin ia lupa mencatat pesanan saya. Ia meyakinkan semua baik-baik saja, tetapi saya masih khawatir soal status saya di bus jurusan Medan itu. Saya melihat penumpang lain sudah diberi tiket dan tas mereka diberi label nomor kursi, namun saya belum. “Sabar dulu, ya,” pinta si Bapak.

Setelah cukup lama menunggu, bus yang akan membawa kami ke Medan datang juga. Bus itu berangkat dari Padang dengan melewati Bukittinggi dan Payakumbuh. Saya akhirnya diberi tiket dengan tulisan seat nomor 3. Saat saya duduk di sana, sang kondektur mengatakan bahwa seat itu adalah milik penumpang yang nanti akan naik di Payakumbuh. Saya bingung dan ternyata perasaan saya benar, ada yang tak beres. Saat dikonfirmasi, bapak tadi menjawab, “Oh, nomor 3 ini maksudnya di samping supir. Sudah di situ saja, daripada saya kasih seat di belakang dekat toilet.”

Jok di samping supir itu hanya jok tambahan. Lebarnya tak seberapa dan saya harus berbagi dengan seorang penumpang lain. Belum lagi sandarannya tak nyaman, hanya menyanggah setengah punggung saja. Bus itu melaju meninggalkan Bukittinggi dan saya duduk sambil sibuk menenangkan diri. Inilah fasilitas yang saya dapatkan dengan membayar Rp120.000, sama dengan penumpang lainnya.

“Everything’s gonna be okay, Cha. It’s not gonna be forever,” saya bicara sendiri. Saya berusaha tidak mengeluh. Saya biasa berjejalan di bus kota, tetapi…oh my God, it’s gonna be 24 hours! Saya akhirnya tak bisa berbohong bahwa di dalam hati, saya merasa marah kepada bapak tua di kantor Bus Kurnia tadi. Karena saya backpacking sendirian, saya pun tak bisa berkeluh kesah dengan teman seperjalanan. Dan saat itu, saya sengaja tak mau membagi ‘ketidakberuntungan’ saya dengan siapapun baik melalui SMS maupun jejaring sosial. Saya ingin berusaha menjalani dan menghadapi semuanya sendiri. Menenangkan diri sendiri dan berdamai dengan keadaan. Hujan mengantar kepergian bus itu dari Bukittinggi.

Saya mengisi waktu dengan mengobrol dengan ibu yang duduk di sebelah saya. Ia orang Aceh, katanya, namun sudah lama tinggal di Padang. Sementara itu, supir mulai menyalakan TV dan memutar VCD berisi lagu-lagu daerah Sumatera. Sampai di lagu Batak yang bernada riang, saya mengkhayal saat itu juga saya sudah sampai di Medan.

Saya masih menikmati perjalanan. Sekitar pukul delapan malam, perjalanan mulai tersendat. Kendaraan antre karena jalan sedang perbaikan. Jalan berbelok-belok dan tibalah kami di Kelok Sembilan yang menghubungkan provinsi Sumatera Barat dan provinsi Riau. Setelah sehari sebelumnya melewati kelok 44 dengan berkendara motor, ternyata saya harus uji adrenalin lagi di kelokan yang tak kalah mendebarkan. Apalagi saya melintasinya di malam hari dengan cahaya terbatas dan naik bus. Bayangkan, kelokan setajam itu dilewati kendaraan berukuran lebar dan panjang! Saat tikungan, sang supir banting stir sampai maksimal. Literally banting stir. Luar biasa, hanya supir berpengalaman yang bisa melakukannya. Saya yang duduk di barisan terdepan dibuatnya terkesima. Alhamdulillah kami selamat.

Ketika malam semakin larut, saya mulai mengantuk dan berusaha tidur. Perasaan tak nyaman kembali muncul. Karena jalan berkelok, saya sering hendak jatuh ke arah kiri karena posisi duduk saya tidak sempurna. Maklum, jatah duduk saya hanya setengah sebab harus berbagi kursi dengan penumpang lain. Kaki dan tangan saya sibuk menahan agar tidak jatuh. Alhasil saya sulit untuk dapat tidur. Belum lagi suhu AC yang dingin luar biasa membuat saya menggigil. Saya sudah memakai jaket dan kaus kaki tetapi ternyata tidak ampuh. Sementara di belakang saya, para penumpang lain sedang tertidur lelap sambil bersandar lengkap dengan selimut. Duh, Gusti… Nikmat sekali kelihatannya.

Malam itu, entah berapa kali saya terbangun. Ketika saya bertanya sudah sampai mana, sang kondektur menyebutkan kota-kota di Riau yang tak saya kenal. Sebelumnya, saya mengira dari Padang atau Bukittinggi ke Medan arahnya lurus saja ke utara, menarik garis lurus dari peta. Ternyata harus melewati provinsi Riau dahulu. Di kota-kota perbatasan Riau ini sempat macet lagi-lagi karena perbaikan jalan.

Keesokan paginya, pemandangan didominasi perkebunan kelapa sawit. Kondisi di dalam bus sangat berantakan. Sampah bertebaran, barang-barang penumpang yang begitu banyak ternyata tak muat ditaruh di kolong kursi sehingga memenuhi lorong bus. Belum lagi lantai bus yang masih licin dan kotor karena kemarin penumpang naik saat turun hujan. Di antara semua kekacauan, yang paling membuat sebal adalah,  supir bus dan kondekturnya yang terus-menerus merokok. Asap mengepung saya dari kiri dan kanan. Saya sudah mencoba menegur sesopan mungkin namun yang saya dapat adalah sepotong kalimat, “Kalau tidak mau kena asap, pindah saja ke belakang.”

Sementara hari semakin siang dan udara terik, suhu AC justru tidak sedingin semalam. Saya bahkan tidak merasakan dingin sama sekali, apalagi saya duduk paling depan dan yang saya rasakan hanya panas dan panas. Saya meminta sang supir menurunkan suhu AC namun ia bersikukuh sudah tidak bisa dinaikkan lagi. Bus aneh!

Selama perjalanan menyebalkan itu, saya teringat cerita Agustinus Wibowo membelah Afghanistan dan negara-negara pecahan Uni Soviet di Asia Barat. Saya ingat salah satu penderitaannya saat melewati gurun yang begitu panas sementara kendaraan yang ia tumpangi tak ber-AC. Jika jendela ditutup, ia dan penumpang lain terkurung dalam udara panas. Sementara jika jendela dibuka, debu di luar sana siap menyerbu mereka. Pilihan yang sungguh tidak menyenangkan.

Pada kesempatan lain, mobil yang ia tumpangi pernah mogok di sebuah aliran sungai. Bukan bermaksud offroad, tetapi memang itulah satu-satunnya jalan yang ada untuk melintas ke wilayah lain. Ia dan beberapa penumpang harus bersusah payah mendorongnya. Pada akhirnya dalam hidup ini, saat ditimpa kesusahan dan kita mengingat kesusahan lain yang lebih dari apa yang kita alami, kita akan bersyukur.

Sekitar pukul empat sore, kami semakin mendekati kota Medan. Semakin banyak penumpang yang turun dan saya bisa duduk di kursi penumpang sebagaimana mestinya. Empuk dan dengan sandaran penuh. Nikmat luar biasa. Tiba-tiba seorang bocah mendekati saya. Ia masih duduk di kelas 4 SD dan bepergian bersama paman dan sepupu-sepupunya.

“Wah, senang dong sebentar lagi kita sampai di Medan ya…” saya berkata kepadanya.

“Kami nggak turun di Medan, Kak. Kami mau ke Banda Aceh.” katanya riang. Tak sedikitpun tampak rasa bosan ataupun lelah selama perjalanan.

Glek. Saya menelan ludah. Banda Aceh masih harus ditempuh sekitar sepuluh jam perjalanan. Kalau saat itu saya disuruh melanjutkan ke sana, saya mau menyerah saja rasanya.

Ini baru cerita tentang bus antar kota antar propinsi. Di belahan lain di negeri ini, atau bahkan di dunia ini, banyak orang-orang yang harus menempuh perjalanan selama berhari-hari dengan moda transportasi yang bahkan mungkin tak pernah kita bayangkan.

Alhamdulillah saya tiba di Medan menjelang Maghrib. Sari, sahabat pena saya sejak SD, menjemput di pool Bus Karunia. Itu adalah pertemuan pertama sejak lebih dari sepuluh tahun kami bersahabat. Semua rasanya cukup. Saya dalam keadaan sehat dan bersama seorang sahabat.

Malam itu, kami menuju rumahnya di Binjai. Ah, selamat malam, Indonesiaku!

A17D533814F5A072D998E94BEDF101B5

Advertisement

15 thoughts on “[SumateraTrip-12] 24 Jam Terlama”

  1. daku kalu jalanjalan sendiri dan ada kendala kaya “tak terdaftar” di bus yang dipesan ya santai saja.. emang sih tujuan jalanjalan menikmati, termasuk menikmati “dikerjain” sama petugas yang lupa mencatat.. dibawa asik saja.. emang jadinya buang waktu.. pernah tuh udah rencanain seminggu keliling jawa, jadinya 2 minggu.. ada aja halangan di jalan yang tak terduga.. pake emosi susah jadinya.. duit jadi menipis, acara jadi molor.. tapi jadi banyak pengalaman dan banyak yang baik hati mau menolong.. juga banyak kisah..

    Like

    1. Hehe..iya Mbak, dibawa santai aja. Aku waktu itu akhirnya berangkat sore itu juga karena ngejar sampai Medan besoknya. Kepulanganku udah terjadwal karena udah beli tiket pesawat dari Banda Aceh, hehe..jadi kurang fleksibel. 😀

      Like

  2. Ga tau kenapa, ak koq malah ngerasa excited gitu ya naek bis/kereta berhari-hari 😀 Tapi syaratnya ya kudu nyaman seatnya 😛

    Klo ga dapet kursi itu nakal agennya tante, coba pindah bus laen.

    Like

    1. Iya mas..aku juga fine kok naik bus. Cuma ya itu…jangankan bisa tidur, duduk pun ga nyaman. Iya, aku blacklist tuh, ga mau naik bus itu lagi. Dari Medan ke Banda Aceh aku naik bus Pelangi. Nyaman banget. 🙂

      Like

  3. tengah mencari info tentang perjalanan medan ke bukit tinggi menaiki bus sebelum sampai ke situs ini. good info but rasa gementar pula mahu menempuhi perjalanan yang tampak mencabar 😦

    Like

  4. waaahh.. good info mbaaak ^^
    sy baru akan ‘naik’ mb, deg2an sih tp sekaligus bersemangat.. doakan lancar ya mbaaak, ehh iya jd yg rekomen naik bus apa mb dari bukit?

    Like

  5. Ending perjalanan di Sumbar sepertinya tidak happy 🙂
    Aku lagi nyari info jalur Bukittinggi – Maninjau, ketemu blog ini…
    🙂

    Like

  6. wahhh jd pengen taklukin jalinsum…terakhir 2012 bareng po SAN kediri-pangkalan kerinci..4hr dlm bis sesuatu banget

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s