Hujan, banjir, dan macet. Cukuplah membuat lelah dan getir. Sampai saya melihat senyuman bapak itu di jembatan penyeberangan antara Halte Busway Setiabudi dan Duku Atas, Jalan Sudirman, Jakarta. Saya tak mengenalnya. Yang saya tahu, ia berjualan di jembatan itu setiap hari. Di sampingnya setia sebuah koper berisi berbagai macam kaus kaki dan masker. Iya, masker. Kebutuhan warga kota metropolitan dengan polusi yang semakin menjadi dari waktu ke waktu.
Selama sebulan saya tinggal di kost, saya selalu melewati jembatan itu setiap pulang kantor. Terkadang saya terlalu lelah untuk sekadar melihat sekitar, termasuk siapa saja yang ada di atas jembatan itu. Ditambah lagi tak ada penerangan, cahaya seadanya dari lampu-lampu gedung atau jalan.
Hujan, banjir, dan macet. Cukuplah membuat lelah dan getir. Sampai saya melihat senyuman bapak itu di jembatan penyeberangan antara Halte Busway Setiabudi dan Duku Atas, Jalan Sudirman, Jakarta. Saya kemudian tersadar bahwa ia selalu tersenyum kepada semua orang yang melewatinya. Juga malam itu. Sementara gerimis masih tersisa, ia berdiri di samping kopernya, tak lupa senyum menghiasi wajahnya. Saya balas tersenyum sambil menganggukkan kepala saya demi menghormatinya.
Terima kasih, Pak. Senyum dan sapa Bapak menyadarkan saya bahwa seberat apapun hari kita, kita masih bisa memberi untuk orang lain. Sekalipun itu hanya sebuah senyuman. 🙂

Wow, sederhana, tapi ngena bgt, cukup ngingetin kalau ternyata kita harus slalu tersenyum, thx cha! 🙂
LikeLike
Sama-sama, Kak Puyi.. Rasanya aku tertampar banget malam itu, sekaligus dapat pelajaran baru. 🙂
LikeLike
Wow sederha tapi ngena bgt, cukup ngingetin kalo kita harus slalu tersenyum. Thanks cha! 😉 wo
LikeLike
ada yang berulang tuh nda tulisannya. apa emang sengaja? hehe
LikeLike
Emang begitu, kakaaak. 😀
LikeLike
kasih senyum manis ke maisya.. 🙂
LikeLike
Asiiik.. Makasih, Mbak Tintin. 😉
LikeLike
senyum ikhlas itu senyum keindahan 🙂
LikeLike