Gedung galeri dua lantai itu terlihat baru, namanya Galeri Info Box. Kami membayar Rp8.000 untuk pengalaman tak terlupakan di tempat ini. Begitu saya memasukinya, seorang petugas menyambut dengan ramah. “Mau ke Lubang Tambang Mbah Soero?” tanyanya. Saya mengiyakan. Kala itu saya datang bersama Chaul dan seorang temannya. Petugas itu memperkenalkan diri sebagai Pak Win. Sebelum memasuki lokasi lubang tambang, kami diminta ke sebuah ruangan untuk mengenakan helm dan sepatu bot. Hal ini bertujuan untuk melindungi pengunjung dari tetesan air dari atas dinding serta sebagian daerah dasar yang masih tergenang air.

Kami keluar galeri melalui pintu samping. Untuk menuju lubang tambang, kami melewati halaman dan patung yang menggambarkan kegiatan tambang di Sawahlunto pada masa lalu. Tergambar dua pekerja tambang yang sedang mendorong gerobak batu bara sambil diawasi oleh seorang Belanda. Berjalan lurus, kami sampai di pintu lubang tambang yang dimaksud.
Langkah saya yang sudah semangat memasuki lubang tersebut tertahan ketika Pak Win meminta perhatian kami sejenak. Ia memberi penjelasan singkat dan memimpin doa. Suasana berubah khidmat. Bahkan mungkin setengah menegangkan. Pak Win yang awalnya santai dan penuh canda kini berubah serius.
Semua berawal dari penemuan batubara di Sawahlunto. Lubang tambang ini adalah yang paling bersejarah karena merupakan lubang tambang pertama di Sawahlunto yang dibuka pada tahun 1898. Kandungan batubara di lubang ini merupakan yang terbaik (kalori 7000) dibandingkan dengan yang ada di sekitarnya seperti di Sungai Durian, Sigalut, Parambahan dan Tanah Hitam.
Pembukaan lubang ini dilakukan oleh orang rantai, sebutan bagi pekerja paksa yang pada saat itu merupakan tahanan penjara Belanda. Mereka disebut orang rantai karena memang secara harfiah dirantai kakinya agar tidak melarikan diri. Lantas mengapa lubang tambang ini diberi nama Mbah Soero? Mbah Soero merupakan nama mandor dari Jawa yang saat itu mengawasi kerja orang rantai. Mbah Soero sendiri konon dikenal sebagai mandor yang baik. Ia dekat dengan orang rantai dan masyarakat.
Memasuki lubang tambang, kami diterangi cahaya lampu remang-remang. Tangga ke bawah lubang itu terbilang aman karena di sisinya dipasangi pegangan besi. Sedikit-sedikit air menetes dari atap lubang yang tingginya sekitar dua meter itu. Pak Win menyebutkan bahwa lubang tambang ini memiliki panjang hampir 1,5 km dengan dua pintu angin. Namun pada tahun 1932 lubang angin tersebut ditutup karena tingginya rembesan air yang menghambat aktivitas penambangan.
Pak Win bercerita bahwa sebelum dibuka untuk wisata pada tahun 2007, lubang ini dipenuhi air dan masyarakat sekitar tidak ada yang memedulikannya. Mereka bahkan tak tahu bahwa pintu usang itu adalah jalan menuju lubang tambang bersejarah. Atas inisiatif bupati Sawahlunto saat itu, lubang tambang ini dipugar. Karena banyaknya air, pembersihan lumpur dan pemompaan airnya sampai memakan waktu 20 hari. Benar-benar perjuangan yang luar biasa!
Lubang ini memang belum sepenuhnya dipugar. Jika diteruskan, masih lebih dalam lagi. Untuk saat ini, masih ada beberapa lubang yang ditutup karena masih proses pemugaran dan katanya menunggu saat yang tepat. “Kata ‘orang pintar’ belum semuanya bisa dibuka,” ujar Pak Win.
Di suatu persimpangan, kami berbelok ke kanan. Semakin masuk ke dalam, suasana semakin hening dan udara menjadi lebih pengap. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa, cukup jauh juga jarak kami ke pintu keluar. Mencekamnya suasana itu ditambah cerita Pak Win mengenai lubang tersebut. “Saat pemugaran, di dalam lubang ini ditemukan banyak tulang belulang para pakerja tambang, salah satunya tulang kaki. Nah disini ini ditemukannya,” Pak Win bercerita sambil menunjuk salah satu pojokan di lubang tersebut. Suatu malam, salah satu tim pemugaran bermimpi didatangi seseorang yang mengaku pemilik tulang kaki tersebut. Ia minta dimakamkan secara islam. Entah bagaimana, nada suara Pak Win saat bercerita semakin berat saat kami semakin menjauhi pintu keluar. Serasa uji nyali juga.
Saat berjalan menuju keluar, Pak Win menunjuk beberapa lubang yang mengarah ke bawah. Waktu itu orang-orang dari Discovery Channel ke lubang ini, masuk sampai dalam sana menyusuri jalur lubang tambang. Wah…jadi penasaran ingin menonton videonya.
Berbicara mengenai orang rantai, ada sejarah panjang dan cerita menyedihkan tentang mereka. Selain lelah karena kerja paksa, mereka juga sering mendapat perlakuan semena-mena dari Belanda. Bahkan tak jarang terjadi perkelahian antar etnis di sesama pekerja. Ada pula kekerasan fisik dan seksual karena pekerja tambang dipaksa menjadi ‘anak jawi’ (homoseksual). Hal ini dikarenakan tidak adanya wanita di kawasan tambang.
Keluar dari Lubang Tambang Mbah Soero, kami berfoto sejenak di pintu masuk dan patung yang ada tak jauh dari sana. Setelah itu kami kembali ke galeri untuk melepas helm dan sepatu bot dan melanjutkan melihat-lihat foto dan display yang ada disana. Kesemuanya menjelaskan mengenai sejarah kejayaan batubara di Sawahlunto.
Katanya hidup itu bagaikan roda yang berputar. Begitu pula ‘rezim’ batubara yang pada akhirnya tenggelam perlahan seiring dengan semakin menipisnya cadangan yang dapat dieksploitasi. Cadangan batubara sebenarnya masih melimpah hanya saja merupakan tambang dalam yang katanya butuh teknologi yang lebih canggih untuk mengeksploitasinya.
Bersamaan dengan menurunnya kegiatan tambang di Sawahlunto, PT Bukit Asam (BA) Unit Produksi Ombilin banyak merumahkan karyawannya. Ternyata Pak Win dulunya merupakan karyawan di PT BA juga. Ia kemudian beralih tugas menjadi pemandu museum. Saya sungguh terkesan dengan keramahan Pak Win dan kepiawaiannya sebagai pemandu.

Berjalan tak jauh dari Galeri Info Box, kita akan menemukan Museum Goedang Ransoem. Untuk masuk ke museum ini dikenakan biaya Rp4.000 untuk dewasa dan
Rp2.000 untuk anak-anak. Museum ini dulunya adalah dapur umum yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja tambang. Di dalamnya ada foto-foto serta peralatan memasak yang super besar. Tentu tak mengherankan, masakan yang dibuat ditujukan bagi pekerja tambang batubara (orang rantai), pasien rumah sakit, dan keluarga pekerja tambang. Setiap harinya 3900 kilogram nasi dimasak untuk orang-orang tersebut.
Selain gedung utama, ada pula sebuah gudang dan dua tungku pembakaran di belakangnya. Lagi-lagi Sawahlunto membuat saya terkesan akan museumnya yang menarik, terawat, dan informatif. Untuk lebih lengkap, bisa baca di tautan ini.
Setelah menelusuri berbagai museum, saya menghabiskan sore dengan Chaul di sebuah warung es campur dilanjutkan dengan berjalan-jalan di sekitar Hotel Ombilin, hotel yang berdiri sejak 1918. Chaul pulang terlebih dahulu sedangkan saya duduk menikmati senja di depan Gedung Kebudayaan Sawahlunto. Ah…andaikan saya bisa menikmati suasana ini setiap hari. 🙂
Pengeluaran Hari Ketiga
Sarapan (2 orang) Rp10.000
Angkot Silungkang-Sawahlunto Rp2.500
Makan siang (2 orang) Rp28.000
Tiket Museum Kereta Rp3000
Tiket Info Box Rp8.000
Tiket Museum Goedang Ransoem Rp4.000
Makan Malam (2 orang) Rp26.000
TOTAL Rp81.000