Memasuki kota Sawahlunto, saya disuguhi pemandangan jalan yang bersih dan teratur, serta bangunan tua yang masih terawat. Saat berjalan menuju kost Chaul di kawasan Pasar Remaja, perasaan yang sama hadir seperti saat saya berjalan-jalan di kota tua Melaka, Malaysia. Memang jumlah bangunan tua di Sawahlunto tak sebanyak di Melaka, namun cukup mengingatkan saya akan Melaka yang merupakan salah satu World Heritage itu. Kanan dan kiri jalan di Pasar Remaja dipenuhi ruko berbagai toko yang sekaligus menjadi hunian di lantai atasnya, yang sebagian bergaya oriental.
Sawahlunto bukanlah kota besar yang padat bangunan dan kendaraan bermotor. Udara di kota ini terbilang sejuk karena dikelilingi pegunungan. Kontur kota juga tidaklah rata, sehingga jalan menanjak dan menurun biasa ditemukan di kota ini. Dari depan Museum Kereta Api, atau kalau mau lebih tinggi lagi ke Masjid Agung Nurul Islam, kita bisa melihat lanskap kota ini dari atas.
Terletak sejauh 90 km di timur kota Padang, Sawahlunto adalah surga bagi penikmat wisata sejarah. Adapun sejarah yang menjadi kebanggaan kota ini adalah kejayaan batu bara di masa silam. Belanda mendirikan kota ini pada 1888 dan menjadikannya salah satu pusat penambangan batu bara. Oleh karenanya, dibangun pula sarana dan prasarana transportasi yang cukup maju pada zamannya. Stasiun kereta api Sawahlunto kemudian dibangun pada 1918. Jalur kereta api ini menghubungkan Sawahlunto dengan kota-kota di sekitarnya seperti Padang, Padang Panjang, Solok, Payakumbuh, dan Bukittinggi.
Cerita sebenarnya bermula dari tahun 1872 ketika Ir. WH. De Greve ditugaskan untuk melakukan penyelidikan kemungkinan dibawanya batubara ke luar Sawahlunto melalui Sungai Ombilin dan Sungai Indragiri. Namun usaha ini gagal karena de Greve meninggal terbawa arus deras Sungai Ombilin. Kegagalan ini mendorong Belanda mencari alternatif transportasi lain. Akhirnya dikembangkan jalur kereta api yang menyisakan jejaknya hingga saat ini.
Sejak tahun 2003, pengangkutan batubara ke Padang tidak lagi menggunakan kereta api. Stasiun kemudian berubah fungsi menjadi Museum Kereta Api pada tahun 2005. Museum ini tidak terlalu luas namun sangat terawat. Saat memasuki ruangan, saya ragu apakah boleh masuk mengenakan alas kaki. Hal ini dikarenakan saya melihat beberapa pasang alas kaki terparkir rapi di depan pintu. Sang petugas kemudian meminta saya melepas alas kaki sebelum masuk ke ruangan berkarpet tersebut. Setelah itu saya membayar tiket masuk Rp3000 per orang.
Tak jauh dari meja petugas, saya menemukan berbagai brosur wisata Sawahlunto. Wah, lengkap sekali! Brosur tersebut dibuat dengan desain menarik dan isinya sangat informatif. Saya kemudian berjalan ke ruangan di sebelah kiri dan kanan lobi. Di dalam museum tersebut tersimpan benda-benda peninggalan sejarah terkait kereta api, seperti jam, alat komunikasi, brankas, label pabrik, dan timbangan. Di dinding museum, foto-foto kegiatan penambangan batu bara dan kegiatan transportasi pada masa kolonial Belanda turut bercerita. Jujur saja saya lebih tertarik melihat foto-foto tersebut dan sesaat seolah mundur ke awal tahun 1900-an.
Sebagian orang bilang, “Kalau tidak dijajah Belanda, mungkin kita tak akan pernah punya infrastruktur perkeretaapian.” Entah apakah dalam hal ini kita harus berterima kasih kepada mereka. Tetapi kalau mau hitung-hitungan, segala infrastruktur peninggalan mereka bahkan tak akan pernah cukup membayar segala hasil bumi yang mereka ambil dan nyawa jutaan penduduk Hindia Belanda yang melayang karena kerja paksa dan pertahanan pada masa kolonial. Para pekerja tambang di Sawahlunto, yang disebut Orang Rantai, juga memiliki kisah sedih tentang kerja paksa ini. Cerita lebih lengkap saya peroleh nanti saat mengunjungi Lubang Tambang Mbah Soero.
Bisa saya katakan, pemerintah Sawahlunto sangat serius mengembangkan pariwisata sejarah di kota ini. Jika kita datang pada akhir pekan, kita bisa menikmati wisata kereta dengan rute Padang Panjang – Solok – Sawahlunto. Selain itu, ada pula kereta uap legendaris bernama Kereta Mak Itam (Loko Uap Seri E 1060 buatan Jerman tahun 1965). Kereta ini juga beroperasi pada akhir pekan dengan rute Sawahlunto – Stasiun Muara Kalaban. Sayangnya waktu kedatangan saya adalah pada hari kerja. Padahal jika berkesempatan menikmati wisata kereta, kita bisa sekaligus menikmati panorama Danau Singkarak yang merupakan salah satu rute yang dilewati.
Tanpa terasa, siang pun menjelang. Saya dan Chaul menuruni tangga dari seberang Museum Kereta Api menuju area Pasar Remaja untuk makan siang. Siang itu kami berencana makan di Rumah Makan Ira, tak jauh dari kost Chaul. Warung itu begitu ramai dipadati pengunjung. Karena tak kebagian tempat duduk, kami akhirnya memutuskan agar makanan dibungkus saja dan dibawa pulang. Selama mengantre menunggu giliran, saya berusaha keras menahan air liur karena melihat berbagai balado dan kuah santan yang mendominasi menu yang disajikan. Sluuuurp…
Kabar baiknya, lokasi wisata di kota Sawahlunto bisa ditepuh dengan berjalan kaki. Tidak masalah kan berjalan kaki 10-15 menit untuk mencapai destinasi selanjutnya? Setelah makan siang, saya dan Chaul berjalan menuju Galeri Tambang, Lubang Tambang Mbah Soero, dan Museum Goedang Ransoem. Ada apa saja ya di sana? Nantikan ceritanya. 🙂
Wah.. Makin pengen ke Sawahlunto deh. Salah satu my wishlist places to travel tuh. Hehe.. Ditunggu cerita berikutnya..
LikeLike
Oke.. 🙂
LikeLike