Saya hanya berada di Padang selama dua hari. Salah satu hal yang membuat saya senang adalah fakta bahwa saya tidak perlu mencari warung makan berlabel Warung Padang untuk menyantap rendang. Hahaha… Karena hampir semua warung makan menyediakan hidangan ala Minang. Rasanya memang agak berbeda dengan kalau kita makan di Warung Padang di tempat-tempat lain selain Sumbar yang belum tentu sang koki adalah orang Minang asli.
Selain menyantap hidangan ala Warung Padang (tetep aja ya nyebutnya ‘Warung Padang’ :p), saya juga mencicipi sate padang yang ternyata rasanya sama seperti yang lidah saya kenal. Sate padang itu ditemani oleh Es Duren yang saya dan Dewi nikmati di Es Durian Ganti Nan Lamo di Jalan Pulau Karam. Nyammm… Sedangkan untuk menu sarapan keesokan harinya, saya menyantap lontong gulai di salah satu warung tenda yang ramai pengunjung. Selain lontong gulai, menu yang ditawarkan adalah lontong kuah pical (kalau di Jakarta disebut pecel), yaitu kuah bumbu kacang. Seperti kita ketahui, yang khas dari hidangan lontong Minang adalah adanya taburan keripik kentang balado di atasnya.

Selain kuliner, saya mengunjungi beberapa tempat di Padang. Pantai Padang atau dikenal dengan sebutan Taplau (Tepi Laut) adalah salah satunya. Bagi orang Padang mungkin tempat ini biasa-biasa saja ya. Pantai ini berada di pinggiran kota padang (ya masa laut ada di tengah-tengah? :p). Mungkin semacam Ancol-nya Jakarta lah. Pantai ini lebih banyak didominasi bebatuan di pinggirannya sehingga kurang cocok untuk lokasi lari-larian ala sinetron atau bersantai sambil selonjor kaki di atas pasir. Namun saya rasa cocok juga jika duduk-duduk disini menjelang matahari terbenam. Semilir angin dan suara debur ombak adalah suasana sempurna untuk mengantarkan matahari sampai hilang dari pandangan.
Masih seputar Pantai Taplau. Cerita lain lagi kalau kita kesana malam-malam. Sebenarnya kalau malam ya bisa dipastikan yang terlihat hanya biru gelap. Namun di sepanjang pantai ini terdapat banyak warung (baik permanen maupun tenda) yang lebih hidup dan ramai di malam hari. Sila pilih apakah mau makan atau sekadar menikmati es kelapa muda sambil bercengkerama dengan teman atau keluarga. Ssstt..tetapi harus hati-hati pilih tenda ya. Menurut informasi dari Dewi, ada pulang tenda ‘remang-remang’ yang biasa dipakai muda-mudi berduaan.
Karena Padang berada di pinggir laut, maka antisipasi bencana tsunami menjadi perhatian khusus. Apalagi pada 2009 lalu pernah terjadi gempa berkekuatan 7,6 SR yang menghancurkan sebagian besar gedung dan rumah di kota ini. Kini kita bisa menemukan banyak tanda arah jalur evakuasi tsunami di sekeliling kota. Sewaktu saya melewati salah satu jalan utama di Padang, ada sebuah masjid besar yang masih dalam tahap pembangunan. Dewi kemudian memberhentikan motor disana. Saya ragu karena ada tulisan dilarang masuk. Saya dan Dewi hanya mengintip di celah gerbangnya. Tanpa diduga seorang petugas membuka gerbang dan mempersilakan kami masuk.

Kemegahan begitu terasa saat kami melihat masjid tersebut dari dekat, Masjid Raya Sumatera Barat. Arsitekturnya begitu khas Minangkabau dengan empat ujung atap yang menjulang ke atas sebagaimana kita temukan di Rumah Gadang. Konon pembangunan masjid ini menghabiskan dana sampai 500 miliar. Selain untuk kepentingan ibadah, Masjid Raya Sumatera Barat juga dapat difungsikan sebagai tempat evakuasi Tsunami jika suatu saat terjadi bencana yang tidak kita harapkan itu. Menurut keterangan petugas keamanan disana, pembangunan masjid akan selesai pada tahun 2015.
Sebelum kami kembali ke rumah sore itu, kami singgah di Jembatan Sitti Nurbaya. Familiar dengan nama Sitti Nurbaya? Ia adalah tokoh utama dalam novel legendaris berjudul ‘Kasih Tak Sampai’ karangan Marah Rusli. Saya sendiri belum pernah membaca novelnya, hanya sedikit-sedikit ingat tayangan drama Sitti Nurbaya pada tahun 1990-an yang diperankan Novia Kolopaking (Sitti Murbaya), Gusti Randa (Samsul Bahri), dan Him Damsyik (Datuk Meringgih). Saya ingat sewaktu kecil Datuk Meringgih adalah sosok yang menyeramkan bagi saya. Sitti Nurbaya mengisahkan kehidupan kolonialisme dan budaya perjodohan atau kawin paksa yang saat itu banyak terjadi. Makanya kalau ada orang zaman sekarang yang menentang perjodohan, biasanya ia bilang, “Memangnya masih zaman Sitti Nurbaya?” Hehe…
Baiklah, sekarang kita kembali bercerita mengenai jembatannya. Jembatan Sitti Nurbaya menghubungkan daerah Muaro dengan Kampung seberang padang. Dari atas jembatan terlihat rumah-rumah di atas hijaunya perbukitan serta kapal-kapal yang bersandar. Di kanan dan kiri jembatan terdapat trotoar yang layak untuk para pejalan kaki sehingga cukup nyaman jika kita berjalan-jalan disini sambil menikmati pemandangan sore. Namun Dewi mengatakan bahwa trotoar ini akan berubah dipenuhi warung dan gerobak penjual makanan (jagung bakar, roti bakar, dll) di malam hari. Mungkin jembatan ini menjadi alternatif nongkrong orang Padang selain Pantai Taplau.
Lalu mengapa dinamakan Jembatan Sitti Nurbaya? Adakah hubungannya dengan cerita karya Marah Rusli? Pertanyaan itu muncul di benak saya. Ada yang mengatakan, di perbukitan yang terlihat dari jembatan itulah Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri dimakamkan.
Di perjalanan pulang, tak jauh dari jembatan tersebut, saya melihat ruko berjejer dengan banyak toko yang menjual keripik sanjai. Glek! Saya menahan keinginan untuk berbelanja oleh-oleh. Ini baru kota pertama. Saya enggan backpack saya penuh sementara masih ada dua minggu perjalanan.
Sampai jumpa besok di Museum Adityawarman, Padang!
Pengeluaran Hari Pertama:
Bus DAMRI Bekasi – Soetta Rp30.000
Airport Tax Rp40.000
Bus Tranex Rp18.000
Makan siang Rp13.000
Makan malam (2 orang) Rp60.000
TOTAL Rp161.000
backpack sendirian? keliling sumatra?
LikeLike
Iya, Mbak. Tapi di beberapa kota ketemu temenku yang tinggal disana. 🙂
LikeLike
Keren Backpaking sendirian.. Rental Mobil Padang
LikeLike