Books, Review

A Thousand Splendid Suns

Saya belum banyak membaca novel berlatar Timur Tengah. Namun dari beberapa yang saya baca, novel-novel tersebut adalah kisah-kisah yang menyentuh, mengiris hati, dan membuat saya menitikkan air mata. Tipikal kisah yang sedih ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh banyaknya konflik dan krisis yang terjadi di kawasan itu, di antaranya di bidang politik, ekonomi, budaya, agama, dan antar etnis.

A Thousand Splendid Suns ditulis oleh Khaled Hosseini, seorang kelahiran Afghanistan yang sejak 1980 menetap di Amerika Serikat. Sebelumnya, ia telah dikenal dengan karyanya “Kite Runner” yang juga bercerita dengan latar Afganistan. Novel pertamanya ini telah difilmkan dengan judul yang sama.Kite Runner bercerita tentang persahabatan dan hubungan ayah-anak di tengah kehidupan masyarakat Afghanistan dengan segala konfliknya.

Berbeda dengan Kite Runner, di novelnya yang kedua ini, Hosseini mengambil tokoh utama dua orang wanita dari dua generasi yang berbeda. Menurutnya, wanita adalah sosok yang banyak menderita selama tiga dekade belakangan di Afghanistan. Ia berpikir bahwa di balik burqanya, para wanita Afghanistan juga memiliki eskpresi, perasaan, dan kisahnya masing-masing.

Mariam adalah gadis kecil di sebuah desa di Herat, Afghanistan. Ia memiliki kebahagiaan yang sederhana, yaitu bertemu dengan ayahnya, Jalil, satu kali dalam seminggu. Mariam kecil tidak mengerti mengapa ibunya, Nana, begitu memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Jalil. Padahal bagi Mariam, Jalil adalah seorang ayah yang baik, yang menyayanginya, mendongeng untuknya, memancing bersamanya, dan membuat Mariam merasa nyaman di sisinya, berbeda dengan Nana yang sering terlihat kesal dan menyebutnya harami (anak yang tidak diharapkan). Mariam begitu ingin terus bersama ayahnya namun pada akhirnya Jalil selalu meninggalkan Mariam dan Nana di sebuah rumah kecil (kolba) untuk kembali ke keluarganya di Herat.

Pada suatu hari, Mariam kabur tanpa sepengetahuan Nana karena bersikeras ingin mengunjungi rumah Jalil di kota. Jalil adalah seorang yang kaya raya dan terpandang. Mariam tidak menyangka bahwa pintu rumah Jalil tidaklah terbuka untuknya. Ia pulang ke kolba dengan kecewa dan lebih kecewa lagi karena ia menemukan Nana telah tiada.

Hari-hari setelah Nana meninggalkannya adalah hari-hari yang tak pernah Mariam bayangkan sebelumnya. Jalil yang sebelumnya selalu melindunginya, berubah menjadi Jalil yang dingin dan terkesan tidak peduli. Mariam pun mengerti akan sikap Nana kepada Jalil selama ini. Mariam kemudian pindah ke Kabul setelah ia dijodohkan dengan lelaki paruh baya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Pusat cerita kemudian berpindah ke seorang gadis kecil bernama Laila yang lahir pada tahun 1978, empat tahun setelah kepindahan Mariam ke Kabul. Pada awalnya kehidupan Mariam dan Laila tak berkaitan sama sekali. Kisah Laila banyak diwarnai dengan kisah persahabatan, cinta, konflik keluarga, juga krisis politik di Afghanistan dan pergantian kekuasaan mulai dari komunis (Uni Soviet) sampai munculnya Taliban.

Saat Kabul dihujani bom dan perang, nasib mempertemukan Mariam dan Laila. Rasa benci, kaku, dan kesalahpahaman yang sebelumnya ada, kemudian berubah menjadi persahabatan, kasih sayang, bahkan sebuah ikatan yang tak bisa digambarkan oleh kata. Mariam dan Laila bersama-sama berjuang dalam kerasnya hidup di masa pemerintahan yang tidak stabil, terlebih ketika Taliban berkuasa. Di masa-masa sulit itu masing-masing dari mereka berusaha menggapai cinta yang mereka dambakan, juga harapan yang telah lama mereka impikan.

Cerita yang pada awalnya terpisah-pisah bagaikan puzzle, semakin lama semakin utuh. Sepanjang cerita, memang begitu banyak penderitaan dan kesedihan para tokohnya, di samping kebahagiaan yang sesekali muncul. Namun kekuatan bercerita dari sang penulis tidak membuat cerita sedih ini menjadi membosankan. Di tengah cerita, penulis juga memberikan kejutan yang mungkin tak diduga sebelumnya oleh pembaca. Kisah hidup Mariam yang penuh liku, penolakan oleh ayahnya, ditinggalkan oleh ibunya, disiksa oleh suaminya, akhirnya berujung kebahagiaan saat ia berjumpa dengan Laila. Meskipun pada akhirnya ia harus mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan Laila, baginya membahagiakan Laila adalah kebahagiaan hidup yang sebelumnya belum pernah ia rasakan dan sebuah pilihan yang sebelumnya hampir tak pernah ia miliki.

Novel ini meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Khaled Hosseini membuktikan bahwa karya fiksi sangat mampu menggerakkan para pembacanya untuk berempati dan memahami berbagai problema umum dari sisi-sisi yang lebih pribadi namun dengan tetap bersifat humanis.

Dan selama saya membaca novel, A Thousand Splendid Suns merupakan salah satu novel di mana saya merasa amat dekat dengan tokohnya, yaitu Mariam dan Laila. Mariam yang berhati lembut namun begitu kuat, dan berjiwa besar. Juga Laila yang harus mengorbankan cintanya dan mengemban tanggung jawab dan beban yang berat dalam usianya yang masih muda. Laila yang dalam jiwa mudanya selalu ingin berbakti kepada orang tua dan bangsanya. Perasaan ini sama halnya seperti ketika saya membaca Tetralogi Buru (karya Pramoedya Ananta Toer) dan saya merasa sangat mengenal Minke.

Trust me, this novel is worth reading. 🙂

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s