Asia, Traveling

Menembus Tembok Korea Utara (Republika, 11/09/2012)

Dear readers,

Alhamdulillah tulisan saya dimuat di harian Republika edisi 11 September 2012. Tulisan ini terdapat di rubrik ‘Jalan-jalan’ sebanyak dua halaman. Saya sendiri hari itu berada di Medan dan tidak sempat mencari koran tersebut. Untung saja keluarga saya di rumah sudah menyimpan koran edisi ini untuk saya. Waktu itu Chendra juga memotret korannya supaya saya bisa melihat penampakannya. Hehe…

Tulisan di bawah ini sebenarnya saya kirimkan untuk lomba menulis Republika, namun ternyata terlebih dahulu dimuat di korannya.  Versi blog-nya sudah pernah saya publish di tautan INI. Untuk lomba, ada beberapa bagian yang saya tambahkan untuk memenuhi syarat jumlah karakter. Dalam pemuatan di harian Republika, tentunya tulisan ini mengalami penyuntingan, salah satunya puisi di awal tulisan (sebagaimana versi blog) yang tidak ditampilkan. Selamat membaca! 🙂

———————————————————————————————————————————————————————-

Jangan coba-coba memotret orang Korea Utara jika tidak mau berurusan dengan aparat

Setelah mengecek barang bawaan berulang kali, akhirnya sebuah ransel hitam yang sudah sedikit sobek turut menemani saya dalam perjalanan pertama saya ke Korea Utara. Democratic People’s Republic of Korea, atau lebih dikenal dengan nama Korea Utara, adalah negara yang terletak di Semenanjung Korea, sebelah selatan daratanChina. Sebelumnya, saya tidak pernah membayangkan dapat menginjakkan kaki di Korea Utara. Negara tersebut selama ini dikenal karena percobaan nuklirnya atau karena sangat tertutup dan dipimpin oleh seorang yang sangat otoriter bernama Kim Jung Il (setelah meninggal dunia beberapa waktu lalu, Kim Jung Il digantikan oleh putranya, Kim Jung Un). Gambaran yang cukup membuat enggan untuk berkunjung ke sana, namun bisa jadi juga membuat orang penasaran dan memiliki keunikan tersendiri.

Perjalanan saya ke Korea Utara berawal dari sebuah pengumuman di kampus Daejeon University, Korea Selatan, tempat di mana pada 2007 lalu saya kuliah dalam program pertukaran pelajar di bawah ASEAN University Network (AUN) dan pemerintah Korea Selatan. Mengetahui bahwa pihak universitas akan mengadakan tour dan pendakian ke Korea Utara, saya tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, apalagi khusus untuk mahasiswa internasional, biayanya cukup miring. Dengan membayar 120.000 won untuk perjalanan 3 hari 2 malam (sekitar 1,2 juta rupiah kurs tahun 2007), saya berkesempatan melewati “tembok” yang selama ini memisahkan Korea Utara dengan dunia luar.

Perjalanan dari Selatan ke Utara

Rombongan dari DaejeonUniversity berangkat dari kota Daejeon dan bergerak menuju utara. Di perjalanan, kami sempat berhenti di beberapa service area yang menyediakan tempat beristirahat, berbagai jajanan, dan toilet. Salah satu service area yang kami singgahi terletak di 38th Parallel of DMZ, di mana kami juga bisa sekaligus menikmati pemandangan pantai yang hingga saat ini sebenarnya masih menjadi sengketa antara Korea Selatan dan Jepang. 38th Parallel of DMZ, yang membagi dua Semenanjung Korea, pada akhir Perang Dunia II merupakan batas antara dua bagian Korea dimana yang satu dikuasai oleh Amerika Serikat, dan bagian lainnya dikuasai oleh Uni Soviet.

Saya dan rombongan menghabiskan malam pertama di tengah perjalanan, yaitu di Banam, tak jauh dari perbatasan. Esoknya kira-kira pukul tiga pagi, kami bertolak menuju perbatasan untuk mencapai Korea Utara. Sebelum meninggalkan Korea Selatan, kami singgah di kantor biro perjalanan yang akan memandu kami, yaitu Hyundai Asan. Setelah itu, kami harus mendatangi Kantor Imigrasi untuk diperiksa kelengkapan surat-surat dan barang bawaan. Perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan dikenal dengan sebutan Demilitarized Zone (DMZ). Memasuki wilayah Korea Utara, kami kembali berurusan dengan kantor imigrasi. Kali ini saya merasakan atmosfer yang sungguh berbeda. Saya seakan mundur beberapa tahun melihat model bangunan yang tidak modern dan alunan lagu “Pangapseumnida” (bahasa Korea yang berarti senang bertemu dengan Anda) dengan musik  tempo dulu. Petugas imigrasi di sana sangat dingin sehingga rasanya saya baru saja bertemu dengan robot.

Untuk memasuki wilayah tersebut dari Korea Selatan, kami tidak perlu membuat visa dari jauh-jauh hari karena mereka menyediakan visa on arrival. Namun visa tersebut tidak ditempelkan pada paspor, melainkan dibuat terpisah dan bahkan nantinya diminta kembali oleh pihak imigrasi Korea Utara ketika kita meninggalkan negara tersebut. Wisatawan Korea Selatan mulai diizinkan berwisata di area Geumgangsan di Korea Utara sejak 1998 melalui jalur laut, sedangkan baru pada 2002 Korea Utara dan Selatan sepakat membuka jalur darat sebagai momentum untuk mempertemukan kembali banyak keluarga yang terpisah antara Utara dan Selatan semenjak Perang Korea (1950-1953).

Perjalanan ke Korea Utara hanya diperbolehkan di bawah agen perjalanan yang resmi, jadi wisatawan individual tidak diperkenankan. Sayangnya, semenjak ada insiden penembakan wisatawan Korea Selatan di Korea Utara pada 2008, akses wisata antar kedua negara tersebut kembali ditutup. Saat ini, jika hendak berkunjung ke Korea Utara, maka akses yang tersedia adalah paket wisata dari China. Harga yang ditawarkan untuk berwisata selama lima hari dimulai dari 1.000 Euro.

Satu hal penting yang harus diingat, di wilayah Korea Utara ada aturan tersendiri dalam hal dokumentasi. Wisatawan dilarang mengambil gambar penduduk setempat dan apapun yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat di sana, seperti tempat tinggal, mata pencaharian, dan lain-lain. Sehingga kesemuanya itu hanya saya rekam baik-baik dalam memori otak saya. Selebihnya, wisatawan boleh memotret diri dan keindahan alam di tempat wisata, apapun asalkan tidak menggambarkan kehidupan sosial warga Korea Utara. Jangan pula mencoba-coba mengambil gambar orang Korea Utara secara diam-diam jika tak ingin berurusan dengan aparat setempat.

 

DMZ: Batas Idelogi Dua Bersaudara

Kala itu, sepanjang perjalanan yang terlihat adalah gunung batu yang menjulang dengan kokohnya. Hujan rintik-rintik dan langit yang mendung seakan membuat suasana makin mencekam. Ada perasaan ingin mengabadikan momen saat melewati perbatasan tersebut, namun mengeluarkan kamera saja sudah melanggar peraturan. Di sepanjang kawasan perbatasan, para tentara, baik Korea Utara maupun Selatan, siap siaga dalam pertahanannya masing-masing seperti hendak berperang.

Itulah The Korean Demilitarized Zone (DMZ), sebidang tanah yang terhampar melewati semenanjung Korea sebagai zona penyangga (buffer zone) antara Korea Utara dan Selatan yang merupakan daerah perbatasan dengan tentara terbanyak di dunia. DMZ — dengan panjang 248 km dan lebar 4 km — membagi Korea menjadi dua, melewati The 38th parallel. Karena perbedaan ideologi, kedua kawasan tersebut akhirnya benar-benar terpisah pada 1948 dengan nama Democratic People’s Republic of Korea (Korea Utara) dan Republic of Korea (Korea Selatan).

Di tengah-tengah DMZ terdapat Military Demarcation Line (MDL) yang merupakan batas yang sebenarnya antara kedua negara tersebut. Setiap negara di masing-masing sisinya menjaga dan siaga terhadap agresi yang mungkin terjadi dari pihak lainnya. Untuk menjaga keamanan, telah dibuat perjanjian yang berisi aturan mengenai jumlah personel militer dan jenis senjata yang diperbolehkan di DMZ. Tentara dari masing-masing negara boleh berjaga-jaga di dalam DMZ namun tidak boleh melewati MDL.

Melintasi DMZ menghadirkan perasaan takjub tersendiri karena merupakan pengalaman pertama saya melintasi perbatasan darat dua negara, terlebih antara kedua negara tersebut pernah terjadi perang pada 1950-1953 dan hingga kini masih saling menganggap musuh nomor satu. Inilah realita dunia, di mana saudara pun dapat bertikai bahkan saling membunuh karena sebuah perbedaan bernama ideologi. Dan DMZ telah menjadi saksi bisu yang membatasi dua ideologi berbeda.

Menikmati Keindahan Alam Geumgangsan

Adalah Geumgangsan, sebuah gunung dengan ketinggian 1638 meter DPL yang berada di daerah perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan. Gunung itulah yang merupakan tempat tujuan pertama saya dan rombongan. Geumgangsan terletak di pesisir timur Korea Utara, tepatnya di Geumgangsan Tourist Region, provinsi Gangwon. Geumgangsan adalah bagian dari gugusan pegunungan Taebek yang terletak di sepanjang kawasan Timur semenanjung Korea. Geumgangsan juga merupakan bagian dari Taman Nasional yang meliputi 2400 km persegi wilayah hutan dan air terjun yang ada di sekitarnya. Saat ini, wisatawan perlu merogoh kocek sebesar 30 Euro untuk melakukan pendakian di Geumgangsan. Memang tarif wisata di Korea Utara terbilang cukup mahal.

Dilihat dari tingkat kesulitannya, mendaki Geumgangsan tidaklah terlalu sulit karena jalurnya cukup landai. Sepanjang pendakian, kami dapat menikmati keindahan alam yang ada. Hutan, sungai, air terjun, serta bebatuan yang menjulang. Geumgangsan terdiri dari bebatuan yang terbentuk selama berabad-abad lamanya. Menurut pemerintah Korea Utara, terdapat lebih dari 12.000 formasi bebatuan yang ada di sana, meskipun tak diketahui kapan dan siapa yang menghitungnya. Bebatuan yang tinggi menjulang itu juga dihiasi dengan pahatan kaligrafi huruf Hanja (China) berukuran besar. Tak terbayang bagaimana mengukir kaligrafi sebesar itu di bebatuan yang tinggi dan curam. Sewaktu saya menanyakan hal ini kepada salah satu pemandu, mereka bilang tak diketahui kapan dan siapa penulis kaligrafi tersebut.

Di tengah pendakian, kami menjumpai beberapa orang Korea Utara yang menjual makanan maupun berbagai souvenir. Walau kami tak lagi menemui “manusia robot” seperti di kantor imigrasi, namun terlihat ekspresi mereka agak malu-malu dan tidak terlalu banyak bicara. Berbeda dengan di Korea Selatan, di mana para penjual seperti itu biasanya sangat interaktif dengan para wisatawan. Setelah dua setengah jam, kami tiba di puncak pendakian dan berfoto-foto dengan latar belakang sebuah air terjun yang indah.

Danau Sam Il-Po

Masih bertema wisata alam, keesokan harinya kami menuju Danau Sam Il-Po, sebuah danau yang terletak di daerah perbukitan. Secara bahasa Sam Il-po berarti ‘Danau Tiga Hari’. Konon dahulu seorang raja mengunjungi danau ini dan tinggal selama tiga hari karena keindahannya. Danau Sam Il-po dapat ditempuh sekitar dua puluh menit dengan mengendarai bus dari tempat kami menginap, yaitu Guryong Village. Guryong Village merupakan suatu area penginapan yang terdiri dari rumah-rumah kecil seperti kamp yang memang disediakan khusus untuk tempat menginap rombongan atau siswa-siswa pada liburan musim panas.

Seturunnya dari bus, kami masih harus berjalan kaki ke tempat tujuan. Hal yang agak mengagetkan, di sepanjang jalan, saya tetap melihat para tentara yang siap siaga. Tak hanya di pos khusus, bahkan di tengah sawah pun ada. Tentara-tentara itu berdiri tegak, diam tak bergerak.

Danau Sam Il-Po ternyata sangat luas. Disana, kami tak hanya berdiam diri melihat pemandangan di sisi sungai. Wisatawan bisa menyusuri jalan menanjak yang berliku untuk naik ke atas dimana terletak sebuah kuil kecil. Selain itu ada juga semacam pendopo untuk duduk-duduk. Wah..melihat Danau Sam Il-Po dari ketinggian ternyata jauh lebih indah.

Selain mendaki Geumgangsan dan menyusuri Danau Sam Il-Po, kami juga mengunjungi Geumgangsan Hot Spring. Tempat ini cocok untuk membuat tubuh lebih rileks setelah seharian mendaki gunung. Namun seperti kebiasaan orang Korea di tempat pemandian umum, pengunjung tidak boleh mengenakan pakaian alias harus bertelanjang (tempat laki-laki dan perempuan dipisah). Bagi sebagian orang yang tidak biasa, aturan ini membuat mereka mengurungkan niat untuk menikmati hot spring, termasuk saya.

Berburu Oleh-Oleh dan Kuliner Khas

Di kawasan wisata Geumgangsan, cukup mudah untuk mencari oleh-oleh. Di sekitar Guryong Village terdapat toko souvenir yang terbilang lengkap, dari mulau pulpen, pin, gantungan kunci, sampai lukisan dan pahatan batu. Harga beragam tergantung jenis dan kualitas barang yang dipilih. Karena lokasi toko souvenir ini terletak di sekitar Geumgangsan, maka yang menjadi khas adalah berbagai pernak-pernik bergambar pegunungan ini. Untuk oleh-oleh makanan, tersedia jamur kering dan madu hutan dari Geumgangsan. Di Korea Utara, dolar Amerika dan won Korea Selatan sama-sama berlaku untuk transaksi ekonomi. Baru-baru ini, Euro juga diterima untuk transaksi di kawasan-kawasan wisata.

Bagi pecinta kuliner, jika sudah pernah mencicipi sajian khas Korea Selatan, maka sajian Korea Utara pun tidak akan terasa asing. Makanan Korea didominasi oleh menu nasi, mie, sayuran, tahu, dan daging. Orang Korea sering mengklaim bahwa masakan mereka sangat pedas. Namun bagi lidah orang Indonesia, sebenarnya pedas ala Korea itu belum seberapa. Selain pedas, rasa asam juga mendominasi rasa masakan Korea. Misalnya saja Kimchi, salad sayuran fermentasi khas Korea yang berbahan utama sawi dan lobak. Bagi orang Korea, makan rasanya belum lengkap tanpa Kimchi.

Selain kimchi, masakan yang banyak dijumpai di Korea adalah sup. Anda bisa mencoba Kimchi Jiggae   (찌개 atau ‘jjigae’ berarti sup), yaitu sup yang terdiri dari campuran kimchi dan daging (perlu diperhatikan apakah daging babi atau sapi). Jika mau variasi lain, bisa juga mencicipi Doenjang jjigae. Sup kacang kedelai ini memiliki variasi isi yang bermacam-macam, yaitu sayuran, kerang, ikan, dan sebagainya. Saya sendiri menyukai Suntubu atau sup tahu. Kuah pedas-asam bercampur tahu yang amat lembut rasanya sangat pas di lidah.

Selama menginap di Guryong Village, saya dan rombongan makan di sebuah restoran yang ada satu komplek dengan penginapan. Pelayanan mereka sangat baik, semua pelayan ramah dan sopan, membuat kami tak sungkan jika mau bertanya atau meminta sesuatu. Sebagian dari pelayan bisa berbahasa Inggris, sebagian lagi tidak. Namun sebuah benang merah yang saya dapat, dari semua orang Korea Utara yang saya temui, mereka terbilang agak pemalu. Jika dipuji atau diberi ucapan terima kasih, mereka akan tersenyum dan menunduk sambil tersipu. Namun senyum hangat mereka setidaknya telah mengubah dugaan saya tentang orang Korea utara yang sebelumnya saya anggap dingin dan tak ramah.

Naik Apa, Habis Berapa?

Ekspedisi ke Korea Utara yang saya lakukan berjalan selama tiga hari. Memang tidak cukup menjawab tanda tanya mengenai negara tersebut karena daerah sekitar Geumgangsan hanyalah sebagian kecil dari wilayah negara itu. Saya belum melihat Pyongyang ataupun kota besar lain, namun waktu yang singkat di sana cukup meninggalkan kesan yang mendalam. Meskipun orang-orangnya terasa lebih kuno dan pendiam, namun ternyata mereka pun dapat tersenyum dan bersahabat.

Tidak ada rincian biaya karena wisata ke Korea Utara harus di bawah agen wisata dan membayar di muka untuk seluruh pengeluaran, kecuali hal-hal yang tidak termasuk di paket wisata seperti oleh-oleh, makanan tambahan, dan lainnya.

14 thoughts on “Menembus Tembok Korea Utara (Republika, 11/09/2012)”

      1. Kak, bener gk sih korut itu negara yg bener2 serba ngikutin gaya sesuai ketentuan petuah sana? Kayak dari gaya rambut wanita yg hanya ada 18 model dan pakaian laki wanita serba hitam abu ( gk berwarna terang) dan gk ada yg boleh punya mobil selain petinggi2 korut? Seketat itu? Share dkit dong kak 🙂

        Oya, 1 lagi. Bangga banget ya klu bisa jd pertukaran pelajarab ke korsel. Pengen bngt bisa kyk kkakak.

        Like

    1. Halo, seperti terdapat di tulisan di atas, nama agennya Hyundai Asan. Di tulisan sudah saya sebutkan juga bahwa sejak tahun 2008 wisata dari Korea Selatan ke Korea Utara ditutup kembali dan sekarang bisa masuk lewat China. Sila gunakan google untuk mencari info tersebut.

      Like

  1. Oya kak, indahnya negata korsel kayak apa sih? Keren banget? Udah nikmatin saljunya sedingin apa? Bnr2 penasana sama indahnya negeri gingsen itu 😀

    Like

Leave a comment