Ketemuan di Sarinah, makan di Sabang, muter-muter di Monas, nyicip spaghetti ice cream di Ragusa
Melewati Monas? Ah, sudah sering… Tapi jujur saja, saya terakhir ke Monas waktu masih kecil sampai akhirnya kesana lagi di tahun 2009. Perjalanan ini dimulai dari SMS teman saya Ino. Dia mengajak cuci mata ke Gramedia. Saya bilang ke Ino, “Ayo aja No, jalan-jalan, tapi gue nggak mau ke mal atau toko buku, maunya ke alam bebas”.
Alam bebas? Ke hutan saja! Hahaha… Tapi ternyata kata “alam bebas” oleh Ino diterjemahkan sebagai Monas. Oleh karena itu, SMS itu langsung dibalas oleh Ino dengan usulan pergi ke Monas dan serta merta saya setuju.
Sarinah dekat PI?
Karena ada bintang tamu dalam perjalanan kali ini, saya dan Ino janjian di McD Sarinah. Pasalnya, kita mau sekalian ketemuan sama Kak Gufy, kakak kelas kita pas di IC. Kebetulan Kak Gufy kantornya tidak jauh dari situ. Kami pun membuat janji untuk makan siang bareng di Jalan Sabang.
Dari Bekasi, saya naik patas AC 05 (Bekasi-Blok M) yang harus dicegat dengan sabar di depan komplek rumah saya (soalnya terkadang saya harus menunggu lama). Saya turun di halte Polda setelah sebelumnya membayar tarif sebesar RP6500. Dari situ, saya lanjut naik Trans Jakarta ke arah Kota dan turun di bunderan HI, depan Plaza Indonesia.
Sarinah deket Plaza Indonesia? Emang iya sih. Tapi saya tidak sadar kalau ada halte lagi di Sarinah. Saat menyadari kebodohan itu, saya langsung naik ojek ke Sarinah karena takut terlambat janjian kalau jalan kaki.
Dari Sabang sampai Merauke
Dari Sarinah, kami bertiga berjalan kaki ke Jalan Sabang lewat jalan-jalan sempit dan ramai khas Jakarta. Di situ berjubel penjual makanan yang tentu saja tempat dan makanannya sesuai harga. Sebenarnya dari Sabang tidak sampai Merauke sih, karena pas sampai Sabang, kami keburu berhenti di Restoran Ampera :p. Omaigat, mau di Jogja, mau di Jakarta, kok nyangkutnya di Ampera ya, padahal di rumah juga udah sering makan masakan Sunda, hehe… Kabar gembiranya, Kak Gufy yang baik hati merasa iba kepada dua mahasiswi yang terlihat tak punya uang ini. Maka ia pun mentraktir saya dan Ino (Hehe..thanks ya, Kak!). Setelah makan dan ngobrol-ngobrol, kami pun berpisah lagi dengan Kak Gufy di Sarinah.
Monas…We’re Coming!

Bisa dibilang, inilah tujuan utama saya dan Ino. Aduh…ternyata capek juga ya menjelajahi Monas. Sebelum menuju pintu masuk ke monumen, kami mengelilingi wilayah Monas dulu naik kereta yang memang disediakan di situ. Tenang saja, gratis kok, tak perlu bayar. Hehe… Kami berkeliling Monas sambil dipandu oleh mbak-mbak yang khotbah lewat Toa sambil bilang, “Di sebelah kiri Anda adalah Stasiun Gambir, di sebelah kanan Anda adalah bla bla bla…”
Tibalah saatnya masuk ke monumen. Sungguh menyedihkan, tangga dan jalan menuju ke tempat penjualan karcisnya becek, kusam, dan nampak tak terurus. Karena hari itu bukan hari libur, maka Monas tak terlalu dipadati pengunjung. Untung kami masih mahasiswa jadi masuknya masing-masing hanya membayar Rp3.750 . Selain anak-anak, mahasiswa, dan pelajar, pengunjung harus membayar Rp7500. Tetep saja tak terlalu mahal. Hitung-hitung uangnya untuk merawat Monas yang (kata mbak2 di kereta) dulu dibangung dengan biaya 7 M (tentu saja jangan disamakan dengan nilai 7 M sekarang yang ‘hanya’ bisa buat beli rumah mewah dari Agung Sedayu Group, hehehe…).

Jam 3 sore, kami sudah siap di depan lift, antre untuk naik ke atas monumen. Sesampainya di puncak, wow…segarnya dibuai angin sepoi-sepoi sambil memandang pemandangan Jakarta. Walaupun sore itu cuaca lumayan mendung, tapi tak terlalu mengurangi kenikmatan bersantai. Di situ disediakan beberapa teropong agar bisa men-zoom pemandangan sekitarnya. Bisa melihat dengan jelas Masjid Istiqlal, Stasiun Gambir, Bank Indonesia, Mahkamah Konstitusi, RRI, dll. Untuk menggunakan teropong, Anda harus merogoh saku sebesar 2000 rupiah. Tiba-tiba saya ingat 63 Building, gedung tertinggi di Seoul, juga Namsan Tower. Ternyata tak usah jauh-jauh ya, di Jakarta juga ada tempat beginian, haha… Tapi ya Monas masih kalah jauh lah dibandingkan dengan 63 Building maupun Namsan Tower di Seoul. Dari harga tiket masuknya pun sudah beda jauh. Tapi sebetulnya mungkin masalah lebih ke pengelolaan ya.

Sekitar pukul 4 kami turun dan mencari mushala. Ternyata mushala terdapat di bawah, di dalam museum. Jadi sekilas kami juga melihat-lihat diorama perjuangan Indonesia yang dipajang di museum tersebut.
Makan es krim dan spageti sekaligus
Waktu menunjukkan hampir pukul 5 ketika kami beranjak meninggalkan Monas. Dengan menumpang bajaj dengan tarif Rp5000, kami menuju ke Jalan Veteran. Di sana, Ino merekomendasikan toko es krim legendaris yaitu Ragusa. Meskipun dari luar tempatnya terlihat sederhana, tentu saja harga es krimnya nggak sederhana, hehe…

Ragusa ini kurang lebih setipe dengan Toko Oen di Malang dan Tip Top di Jogja (Jalan Mangkubumi). Tokonya jadul, berdiri sejak 1932 (pegel banget pastinya…). Di temboknya terpajang foto-foto toko tersebut di zaman dahulu kala dan juga tulisan “es krim tradisional tanpa bahan pengawet”. Cocok untuk Anda yang menghindari makanan dengan bahan pengawet, hehe… Di depan toko ini berjejer beberapa pedagang gerobak yang di antaranya menjual otak-otak, juhi, asinan, dan sate. Ternyata sudah biasa pembeli yang datang ke sini menikmati es krim dari Ragusa namun membeli makanan dari pedagang di luar toko.
Sore itu, kami menutup perjalanan dengan menikmati sepiring Rujak Juhi (Rp10.000) dan es krim. Saya memesan Spaghetti ice cream sedangkan Ino memilih Banana Split. Harga keduanya sama, yaitu Rp27.000. Tak apa-apa lah sekali-kali. Kalau setiap hari sih bisa bankrut! Lucu juga sih es krimnya, berbentuk spageti. Dan…rasanya tidak mengecewakan (Eh tapi sebetulnya saya tidak terlalu bisa merasakan perbedaan rasa es krim. Bagi saya semuanya enak! :p).

Stasiun Gambir akhrinya menjadi tempat perpisahan saya dan Ino. Kami berpelukan diiringi isak tangis karena tak ingin berpisah (okay, this is lebay!). Saya nongkrong di halte menunggu Patas AC 63 (Bekasi-Pasar Baru) sedangkan Ino di dalam stasiun karena malam itu juga ia kembali ke Jogja untuk mengerjakan tugas di kampusnya. Sebelum pulang, saya juga masih sempat memotret Monas malam hari. Foto ini saya ambil dari tempat mangkal bus wisata di belakang Stasiun Gambir.
*Nantikan kisah ‘Jalan-jalan Jakarta’ yang lainnya. Masih banyak kok tempat menarik di ibukota! 🙂
Salam urban traveler,
aku kemarin ke monas tapi nggak sempat masuk ke dalamnya. udah sore soalnya datangnya
LikeLike