Other Stories

Palestina: “Love Us Less, Do Much More”

foto: http://mondoweiss.net/2011/12/thanks-my-enemy-i-love-palestine.html

Palestina selama ini saya kenal lewat berita-berita di media massa. Februari 2010 lalu bagi saya adalah sebuah pengalaman yang istimewa karena saya mendapat kesempatan untuk duduk bersama di dalam satu ruangan dengan H.E. Fariz Nafi’ Atieh Mehdawi, duta besar Palestina untuk Indonesia. Acara “Dialog with Palestinian Ambassador” tersebut bertempat di Ruang Sidang I Gedung Pusat UGM, dan kebetulan saya bertugas sebagai MC. Agak grogi juga awalnya, sampai-sampai bicara pun jadi agak belepotan. Maklum lah, saya kala itu baru beberapa kali menjadi MC acara resmi, duta besar pula pembicaranya.

Setelah acara dibuka, Pak Fariz Nafi’ mulai bercerita tentang sejarah dan asal-usul suatu negara, juga tentang kolonialisme oleh negara-negara Eropa. Menurutnya, kolonialisme adalah bentuk dari dominasi. Pada gilirannya beliau juga bercerita tentang isu Palestina dan kerjasama bilateral Indonesia-Palestina. Berbicara tentang sejarah Palestina dan konflik dengan Israel, mungkin tak banyak berbeda dengan yang telah kita ketahui. Namun, yang ditekankan beliau adalah bahwa konflik Palestina-Israel bukanlah semata-mata konflik agama seperti yang sering digembar-gemborkan di media massa, melainkan isu nasional, isu tentang kemerdekaan.

Ia mengingatkan kembali pada semangat Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dahulu dicetuskan oleh Bung Karno, sebuah konferensi yang menuntut kebebasan bagi negara-negara di Asia-Afrika. Sayangnya, hingga saat ini Palestina menjadi satu-satunya negara yang belum merdeka. Untuk itu, dukungan internasional sangatlah dibutuhkan untuk membantu proses kemerdekaan Palestina. Indonesia selama ini telah cukup banyak mendukung Palestina, salah satunya tentu dengan tidak mengakui adanya negara Israel dan tidak melakukan hubungan diplomatik. Menurut Pak Fariz Nafi’, negara-negara di Eropa pun telah melakukan pengecaman terhadap Israel. Anehnya, Inggris pun melakukannya. Hal ini bisa dilihat dari universitas-universitas di sana yang konon tidak menerima mahasiswa dari Israel. Kalau mengingat lagi sejarahnya, bukankah dulu Inggris yang memberikan sebagian wilayah Palestina untuk orang-orang Yahudi? Dunia memang membingungkan. Waktu belajar sejarah pas SMA dulu, saya pikir Inggris lah yang seharusnya bertanggung jawab. Berani-beraninya menyerahkan tanah yang bukan miliknya kepada orang lain.

Pentingnya kerjasama bilateral dan multilateral sangatlah dirasakan oleh pemerintah Palestina. Hingga saat ini, cukup banyak relawan dari berbagai Negara yang datang ke Palestina untuk memberikan bantuan dalam berbagai bidang. Yang tak kalah penting menurut Pak Fariz Nafi’ yaitu untuk transfer capacity building, tak sekedar materi-materi yang bersifat konsumtif.

Saat sesi tanya jawab, cukup banyak mahasiswa yang antusias bertanya. Akan tetapi, waktu tidak memungkinkah sehingga ada beberapa orang yang terpaksa tidak mendapat kesempatan. Pertanyaan pertama sepertinya datang dari seorang aktivis salah satu organisasi islam. Ia mempertanyakan mengapa tidak digunakan bentuk khilafah sebagai solusi untuk konflik Palestina dan Israel. Menurutnya, berbagai konflik di Palestina terjadi setelah negara tersebut lepas dari khilafah Turki Usmani, di antaranya adalah adanya perebutan kekuasaan antara Fatah dan Hamas. Pak Fariz Nafi’ menjawab bahwa konflik yang terjadi bukanlah dalam konteks itu. Selama ini ada pihak-pihak yang memang bermaksud mengadu domba. “It’s not about khilafah Islamiyah, it’s about nationalization,” jawab Pak Fariz Nafi’,”HAMAS is not obstacle, because the conflict is not because ideological problem.

Penanya selanjutnya bertanya tentang peran mahasiswa dalam mendukung dan membantu Palestina. Mungkin semacam pertanyaan klasik, tetapi menjadi tidak klasik karena langsung ditanyakan kepada orang Palestina. Pak Fariz Nafi’ menyadari bahwa selama ini banyak demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa yang mendukung Palestina. Tetapi, akan lebih baik lagi jika dukungan berupa practical solving. Beliau mencontohkan bahwa mahasiswa bisa membantu memberikan dukungan di bidang pendidikan berupa penggalangan dana untuk beasiswa pelajar di Palestina. Bisa juga dari hal-hal sederhana, misalnya menyisihkan seribu rupiah untuk membantu Palestina dari tiap tiket menonton film, pertandingan olahraga, dan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan lain. “Love us less, do much more,” ujarnya. I think those really make sense.

Pak Fariz Nafi’ menyayangkan jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan pribadi atau golongan. Misalnya saja orang-orang dari organisasi tidak jelas yang berusaha mengumpulkan dana dari masyarakat, namun dana itu tak pernah sampai ke Palestina. Termasuk para politisi yang memanfaatkan isu Palestina untuk memeroleh suara pada ajang pemilihan tertentu. “Please don’t use us for such thing.”

Sebelum acara diakhiri, beliau bercerita bahwa selama ini cukup banyak orang Indonesia baik mahasiswa maupun nonmahasiswa yang magang di Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. Beliau menyatakan bahwa kesempatan tersebut terbuka bagi orang Indonesia lainnya yang tertarik pada isu Timur Tengah, khususnya Palestina. Apakah Anda termasuk salah satunya? Anda bisa menghubungi pihak Kedubes Palestina melalui e-mail di palembidamb@palestineembassyjakarta.com atau memperoleh info seputar Palestina dihttp://www.palestineembassyjakarta.com. Di akhir acara, saya menutupnya dengan harapan bahwa semoga dialog ini bisa memberikan kita pemahaman yang lebih mendalam tentang isu Palestina, lebih dari yang diharapkan Pak Fariz Nafi’ dalam pernyataan beliau sebelumnya, yaitu “Love us less, do much more”, melainkan “We love Palestine more, and do much more”.

Cerita tak selesai sampai acara berakhir. Saya ditugaskan untuk turut mengantarkan Pak Fariz Nafi’ ke hotel beserta tiga orang mahasiswa Palestina yang akan kuliah di UGM, dua orang pria dan satu wanita (kuliah program Master di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi). Saya senang karena dapat mengobrol dengan Pak Fariz Nafi’ dalam suasana yang lebih santai. Sebelum saya kembali ke kampus, beliau menjamu dengan makanan kering khas Palestina. Salah seorang mahasiswa Palestina turun dengan membawa kaleng seperti kaleng kue Monde. Dan ternyata di kaleng itulah makanan yang dimaksud oleh Pak Fariz Nafi’. Saya mencicipi. Rasanya enak, tapi saya sendiri lupa nama makanannya. Hehe… Saya pun berujar, “It tastes very good. You should export it to Indonesia, Sir” Pak Fariz Nafi’ tertawa. Ia menyatakan bahwa anaknya yang baru saja mendapatkan gelar MBA memang sudah berniat membuka bisnis makanan dan masakan Palestina di Indonesia, mungkin akan mencari rekan bisnis terlebih dahulu. Sambil bercanda saya menyatakan bahwa saya bersedia menjadi rekan bisnisnya. Hehe..

Sambil menikmati makanan kering itu, kami mengobrol tentang apa saja. Salah seorang mahasiswa Palestina, Madeleine, bercerita kepada saya tentang kampung halamannya. Ia dan keluarganya tinggal di Bethlehem. Ia mengatakan bahwa banyak orang yang sering salah menduga tentang kondisi Palestina. Banyak yang menganggap Palestina adalah daerah perang. Memang benar, tapi itu ‘hanya’ di Gaza dan kawasan yang berbatasan dengan lokasi yang diklaim Israel. Di wilayah lain, kehidupan berjalan normal dan stabil. Jujur saja, saya termasuk yang berpikir seperti kebanyakan orang. Dan saya mengira bahwa semua wanita di Palestina menggunakan jilbab atau bahkan burqa. Ternyata tidak, Madelaine salah satunya. Wanita berparas cantik itu tampil dengan balutan celana panjang dan kemeja merah jambu dengan lengan sampai sikut, sementara rambutnya ia ikat. Saya pun berpikir mungkin saja Madelaine bukan seorang muslim.

Ini juga anggapan saya yang salah. Selama ini saya mengira bahwa semua orang Palestina adalah muslim, tapi ternyata tidak. Menurut Pak Fariz Nafi’ orang Islam dan Kristen hidup damai berdampingan, bahkan umat Kristen termasuk yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari Israel. Perdamaian memang indah.

Lain lagi dengan mahasiswa lainnya yang bernama Muhammad. Melihat saya saat itu memakai behel, ia bertanya, “How much is the braces here?” Saya pikir itu hanya pertanyaan iseng. Saya baru tahu kemudian ternyata ia adalah seorang dokter gigi. Ia mengatakan bahwa biaya untuk pemasangan behel di Palestina adalah USD 1500. Wow..mahal sekali. Lalu saya bertanya kepada Muhammad apakah Ia sudah pernah ke luar negeri sebelumnya. Ternyata ia dulu pernah kuliah di Rusia. Ia juga pandai berbahasa Rusia. Selain di Rusia, ia pernah belajar di negara lain, tetapi saya tidak begitu ingat tepatnya dimana. Satu lagi anggapan saya salah. Saya pikir semua orang Palestina sulit mendapat akses pendidikan. Atau bisa jadi pendidikan lebih mudah diakses oleh golongan ekonomi tertentu. Entahlah.

Sore itu menjadi sore yang sangat berkesan. Pak Fariz Nafi’ menitipkan cindera mata berupa kain tenun khas Palestina untuk Pak Sudjarwadi, Rektor UGM. Saya mengucapkan terima kasih lalu berpamitan. Mobil kampus UGM melaju meninggalkan hotel. Saya pulang membawa pengalaman yang sangat berharga. 🙂

Catatan: Saya sadar pengalaman dan bincang-bincang ini masih jauh dari komprehensif. Pernyataan dari Pak Dubes pun saya rasa banyak yang sifatnya diplomatis dan (mungkin) menghindari isu-isu sensitif, khususnya mengenai partai atau golongan tertentu. Namun bagi saya, pengalaman ini memberikan pengetahuan baru dari interaksi langsung dengan orang-orang dari Palestina.

Salam,

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s