Luaarrr biasa!! Itulah kesan yang saya dapatkan dari perjalanan saya ke Goa Cerme pada Maret 2009. Menelusuri goa adalah suatu hal yang baru bagi saya, meskipun memang sudah sejak lama saya ingin mencobanya. Alhamdulillah saya berkesempatan menikmati suguhan petualangan tak terlupakan di Goa Cerme. Goa ini berada di Imogiri, Bantul, sekitar 20 km dari kota Jogja. Saya dan rombongan berangkat dengan menggunakan bus, jadi lumayan lah saya bisa tidur di perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam itu. Jalan menuju ke sana cukup menantang dan seperti roller coaster, sepertinyaya pegal dan menyeramkan juga kalau bawa motor sendiri.

Sedikit bicara mengenai sejarah, Goa Cerme dikenal sebagai tempat Wali Songo menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di Jawa beberapa abad lalu. Nama Cerme sendiri berasal dari kata “ceramah”. Selain itu, di depan goa ini terdapat patung Pangeran Diponegoro bersama kudanya. Konon pada masanya, Pangeran Diponegoro menggunakan goa ini sebagai tempat persembunyian dari para penjajah. Hingga saat ini, selain untuk kegiatan studi dan wisata, goa ini juga masih sering digunakan untuk bersemedi oleh masyarakat setempat. Terbukti ketika berada di dalam goa, saya menemukan batuan tinggi yang penuh dengan bunga-bungaan. Mungkin itu adalah salah satu tempat yang pernah digunakan untuk bersemedi.

Goa Cerme yang panjangnya 1200 meter ini memiliki stalagtit dan stalagmit yang indah. Subhanallah…begitu memasuki goa, kita sudah disuguhi keindahan batuan yang selain bentuknya unik, juga berkilauan. Masuk ke goa seakan masuk ke dunia lain, dunia yang benar-benar baru dan penuh misteri (terdengar lebay..tapi ini serius). Saya saat itu bersama teman-teman pecinta alam MIPA UNY (saya yang anak UGM berani-beraninya ikut nimbrung :p) yang memang sudah berpengalaman dalam kegiatan telusur goa atau caving. Namun, jika Anda berniat ke sana namun belum berpengalaman, sebaiknya menyewa pemandu yang dapat ditemui di sekitar tempat penjualan tiket masuk.
Menelusuri goa Cerme berarti siap untuk berbasah ria. Hal ini dikarenakan lantai goa digenangi oleh air tanah dengan rata rata kedalaman air sekitar 1 meter. Goa ini terdiri dari banyak ruangan, seperti panggung pertemuan, air zam zam, mustoko, air suci, watu kaji, pelungguhan / paseban, kahyangan, grojogan sewu, air penguripan, gamelan, batu gilang, lumbung padi, gedung sekakap, kraton, panggung, goa lawa dan watu gantung.
Di tengah perjalanan, kita akan menemukan sebuah air terjun. Di samping kanan dan kiri air terjun ini terdapat dua jalur yang berbeda, yaitu jalur atas dan jalur bawah. Awalnya, saya dan teman-tema memilih jalur bawah. Tapi…OMG!! Susaaaahhhh…berraaatttt…. Jadi lewat jalur bawah itu ternyata kita harus siap menyusuri goa dengan cara merangkak. Bayangkan, kita harus merangkak di jalur yang penuh air, dengan lebar dan ketinggian jalur kira-kira satu meter atau kurang. Jadi kepala sudah pasti mentok melulu ke stalagtit yang ada di atas. Nah itulah gunanya pake helm. Jika tidak, pasti sudah luka parah. Selain itu, rasanya juga kedinginan sekali karena tubuh kita tercelup semua ke air, kecuali kepala. Bahkan di bagian tertentu ada yang mengharuskan sedikit menyelam karena stalagtitnya rendah sekali, tak cukup dilewati oleh kepala sekalipun.
Saya stress juga. Ditambah lagi mesti menyelamatkan tas yang sudah basah kuyup. Tubuh ini saja udah ngepas banget di jalur itu, ditambah tas..jadi makin sempit deh. Hal penting lainnya adalah, saya harus mengamankan barang-barang elektronik. Saya waktu itu memegang kamera (duh repot banget ya?). Duhh..ngeri kalau kameranya nyemplung di air. Akhirnya saya titipkan saja ke panitia, mungkin mereka lebih tahu strategi untuk menyelamatkan diri dan benda-beda itu, hehehe….

Setelah merangkak beberapa lama, sepertinya panitia melihat para peserta kelelahan dengan jalur semacam itu. Akhirnya kami putar haluan dan berniat melewati jalur atas. Ya, saya pikir itu lebih baik daripada badan saya pegel-pegel melewati jalur bawah. Akhirnya kami bertemu lagi dengan air terjun dan mulai memanjat. Kami lewat jalur atas.
Perjalanan selanjutnya tidak terlalu berat. Kami berjalan normal dengan air setinggi lutut sampai pinggang. Kanan kiri jalur masih dihiasi dengan stalagtit dan stalagmite yang indah. Sesekali kelelawar yang merupakan penghuni goa itu melintas. Beberapa waktu kemudian….kami melihat cahaya! Wow…itulah tanda-tanda kehidupan. Hehehe…senang sekali. Serasa sudah 309 tahun di dalam goa (berasa Ashabul Kahfi, hehe..). Ternyata sekitar 2-3 jam di dalam goa, saya juga tidak tahu tepatnya karena tidak melihat jam.
Kami menaiki tangga dari goa menuju ke dunia luar lagi. Memang sulit dipercaya. Dari tadi kami berada di bawah tanah, yang ternyata…di sana juga ada kehidupan. Wah, caving benar-benar membuat ketagihan. Katanya masih banyak goa yang lebih seru, apalagi yang vertikal. Top markotop!
