Hehehe…pasti akrab kan dengan kalimat singkat tersebut. “Oleh-oleh ya…” itu biasanya diucapkan orang-orang ketika mereka tahu bahwa kita akan bepergian ke suatu tempat. Atau, “Mana oleh-olehnya?” Yang satu itu diucapkan ketika kita baru pulang dari bepergian. OMG! Kalimat itu singkat tapi sangat intimidatif.

Waktu saya ke Korea sih, berhubung di sananya setahun, saya bisa nyicil beli oleh-oleh. Misalnya, saya sedang jalan-jalan ke Seoul, kemudian ada pernak-pernik yang lucu di Namdaemun atau Insadong. Yaudah saya beli. Atau saat jalan-jalan ke Jeju Island, ada yang lucu dan khas dari daerah tersebut, yaudah saya beli juga. Lalu ketika ke kota-kota lainnya pun demikian. Jadilah ketika pulang ke Indonesia, oleh-oleh yang saya beli ternyata menumpuk segambreng-gambreng. Nah kalau itu saya bisa bagi-bagi cuci gudang (waktu itu memang sebagian barang saya berupa buku dan yang berat lainnya dikirim via paket pos. Jadi tidak terlalu memberatkan bagasi pesawat. Walaupun akhirnya kelebihan waktu terbang Bangkok-Jakarta karena saya belanja lagi ketika mampir beberapa hari di Bangkok. Haha..).
Jujur saja, saya merasa kurang nyaman jika teman meminta oleh-oleh yang berlebihan. Masih mending kalau sekalian memberikan uangnya, berarti dia memang niat. Hehehe.. Waktu saya mau ke Jepang, ada juga salah seorang teman saya yang nitip membeli CD Arashi dan sudah memberikan uang. Tapi sayangnya saya tidak sempet mencari toko CD dan akhirnya tidak bisa memenuhi pesanan (maaf!). Ibu kost saya juga pernah nitip terasi dari Bangka waktu saya KKN. Tentu saja saya membelikan dengan senang hati. Apalagi selama ini Ibu kost sudah begitu baik kepada saya. Lho, tapi kok terasi? Memang katanya terasi Bangka terkenal enak dan top markotop. Best of the best terasi di Bangka konon adalah terasi khas Toboali. Ada yang sudah pernah mencoba?
Tapi percayalah, kita sebenarnya tidak perlu meminta oleh-oleh. Seseorang akan memberi oleh-oleh secara sukarela kalau ia merasa dekat dengan kita. Misalnya, saya kalau pergi pasti ingat untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga dan sahabat-sahabat terdekat.
“Ciyee..mau ke Jepang. Jangan lupa lho oleh-olehnya. Pokoknya harus! Aku mau tas atau sepatu ya…”
WHAT??!!
“Kapan berangkat ke Jepang, mbak? Mau dong dibeliin pedang samurai,,,apa tuh namanya?”
“Wah, yang bener aja dong kalo mau nitip. Nanti ditaruh dimana? Hehe..” kata saya bercanda.
Ia hanya tertawa sambil tidak berniat memberikan uang.
Sebagian orang meminta oleh-oleh hanya sekadar basa-basi. Tapi kalau memang basa-basi, saya sarankan lebih baik tidak perlu meminta, apalagi kalau kita tidak terlalu dekat dengan orang yang kita mintai oleh-oleh itu. Walaupun sering saya tanggapi sambil bercanda, tapi lama-kelamaan permintaan itu cukup mengganggu lho.
Bukannya saya pelit, hanya saja repot sekali kalau mesti mengikuti semua keinginan orang. Kebanyakan teman saya yang suka bepergian juga merasakan hal yang sama. Tidak suka beli banyak oleh-oleh, kecuali untuk keluarga dan orang terdekat, termasuk biasanya teman kantor. Kami biasa saja bilang minta oleh-oleh dan memang kami selalu ingat untuk saling membelikan oleh-oleh. Kalaupun bukan sesuatu yang luar biasa, tapi setidaknya menunjukkan perhatian kita. Misalnya gantungan kunci yang imut2 dan nggak ribet bawanya. Atau hanya sekedar cemilan ringan dan coklat khas negara yang kita kunjungi.Yang penting asiknya rame-rame. Hehehe…
Pengalaman dimintai oleh-oleh membuat saya lebih bersimpati kepada orang yang mau pergi jauh. Saya lebih bisa mengendalikan diri kapan dan kepada siapa saya perlu bilang minta oleh-oleh.

Mungkin waktu saya ke Jepang saya tidak terlalu berniat hunting oleh-oleh karena waktunya cukup singkat, yaitu seminggu. Dan saya pergi bukan buat senang-senang, tapi student conference yang agendanya padat. Saya hanya ada waktu luang setelah makan malam. Jalan-jalan hanya sempat ke Tokyo Tower. Itu pun karena masuk agenda city tour dari conference dan agak terburu-buru juga. Berangkat dari hotel di Asakusa jam 5 sore. Mesti balik ke Asakusa lagi jam 7 malam untuk menikmati makan malam bersama group lain. Zzzz…
Tapi saya takjub juga lho.. Jadi waktu itu malam terakhir di Sendai saya jalan-jalan sama Putri (teman sekampus dan sekantor) dan juga Brian (teman dari ITB). Saya tercengang melihat Brian yang seorang pria ternyata memiliki insting belanja yang sangat kuat. Hahaha… Pertama, dia membawa uang lebih banyak daripada saya. Tentu saja itu membuatnya butuh pertimbangan yang lebih pendek untuk menentukan mau beli apa. Kalau saya, memang tidak bawa uang terlalu banyak, sengaja supaya tidak lupa diri dalam berbelanja. Kedua, ternyata selain belanja untuk dirinya, Brian juga membeli pesanan teman-temannya yang sudah ia catat. Wow…it’s very kind of him. Bahkan ada temannya yang nitip beli kostum (costplay) apa…gitu. Dan Brian mau nyariin. Tapi saya lupa sih akhirnya dia beliin atau nggak. Hehe…
Yah memang setiap orang berbeda. Selain itu, tujuan orang jalan-jalan juga tidak sama. Ada yang memang niat belanja, ada juga yang ingin backpacking, berkontemplasi, dan lebih mengenal budaya lokal. Yah backpacker juga mungkin beli oleh-oleh, tapi kan seperlunya ;p. Seperti ketika saya backpacking Asean, saya hanya membeli sedikit oleh-oleh, di antaranya T-shirt dan kartu pos dengan nuansa lokal negara yang saya kunjungi.
Begitulah kisah singkat (singkat ya?) tentang oleh-oleh. Tiba-tiba kepikiran untuk nulis ini setelah membaca blog salah seorang teman yang bercerita tentang perjalanannya ke Negara tetangga. Lalu ia bilang bahwa ia tidak terlalu suka beli titipan oleh-oleh, apalagi yang tidak masuk akal. Hehe.. I absolutely agree. 😀
Hahahahaha.. Mbaaaak.. Tulisannya gue banget dah.. Bener banget itu :)))
LikeLike
“gue banget” nya itu sebagai peminta atau yang diminta? 😉
LikeLike
Oleh-olehnya yah kak icha… 😀
LikeLike
*lempar cucian*
LikeLike
bagi oleh eleh nya kaka
LikeLike
Oleh-olehnya mba….sepatu kaca…..he..he…:lol:
LikeLike