Indonesia, Traveling

Finally Bali #2

Desember 2010. Masih di Kuta, Bali.

Dua Dara Inn, tempat saya menginap (Rp100.000/malam). Sarapan di pinggir kolam renang.

Good news. Hotel itu ternyata menyediakan sarapan juga. Akhirnya saya ikhlas ‘membuang’ uang Rp100.000 untuk menginap semalem sendirian. Menunya bisa milih sih…tapi saya lupa apa saja. Yang jelas saya milih roti+telur dadar dan segelas kopi. Riky memilih menu yang sama hanya saja ditambah segelas teh manis. Ah ternyata saya salah pilih. Saya kira kopinya yang instan atau coffeemix. Eh ternyata kopi tradisional yang bubuknya masih mengambang di permukaan. Pahiiiit… Nggak sukaa…

Pantai Kuta dan Legian

Setelah sarapan, saya berjalan ke Pantai Kuta yang masih lumayan sepi. Nggak ngapa-ngapain sih, hanya duduk-duduk dan menikmati udara pagi. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah seorang anak kecil yang sedang belajar surfing. Waaah..keren. Sejak kecil sudah diajarkan untuk berani mencoba. Saya pun jeprat-jepret..sampai seorang gadis mendekati saya. “Mbak, bisa minta tolong fotoin?” Saya pun mengangguk. Ternyata saya diminta foto sepasang kekasih yang bergaya di pasir dengan tulisan nama mereka di depannya: Surti love Tejo (bukan nama sebenarnya). Mereka berganti-ganti pose sedangkan saya berusaha menahan senyum geli.

Pagi di Kuta
Ibu dan anak yang baru pulang dari Pura.

Selanjutnya saya jalan-jalan sekitar Legian. Tak ada yang begitu spesial mengingat Legian justru lebih ramai di malam hari. Sepanjang jalan saya hanya melihat hotel dan toko-toko yang masih tutup. Sebenarnya hari itu adalah hari raya Kuningan. Kalau mau melihat prosesi sembahyang di pura, seharusnya saya datang lebih pagi. Namun berhubung pagi itu saya bermalas-malasan ditambah badan yang pegal di sana-sini, saya menyerah. Hanya ada satu pura yang menyisakan beberapa orang yang baru pulang sembahyang.

Selain terkenal dengan keramaian malam, yang kini menjadi ikon daerah Legian adalah Monumen Bom Bali. Di sana terukir nama-nama korban pemboman kala itu yang mencakup para turis dan sebagian kecilnya juga adalah orang Indonesia dan penduduk Bali sendiri. Ngomong-ngomong tentang pemboman di Legian, sehari sebelumnya saya mendapat cerita dari Pak Nengah, supir mobil sewaan saya dan teman-teman. Menurutnya, kejadian pemboman tersebut sangat disesalkan masyarakat Bali sampai-sampai mereka pernah berdemo ke Kepolisian (entah Kepolisian mana) dengan maksud ingin membeli sang pelaku bom supaya ia dikeluarkan dari penjara dan oleh warga Bali diberi hukuman yang dirasa setimpal dengan perbuatannya. Jujur, saya belum pernah mendengar berita ini.

Monumen Bom Bali

Akan tetapi, konon sebagian besar warga Bali di satu sisi juga merasa Legian memang tempat maksiat yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi, sehingga kejadian tersebut dianggap sebagai teguran Tuhan. Bahkan pihak-pihak tertentu membangun tempat hiburan malam bersebelahan dengan tempat ibadah. Sungguh ironis. Pak Nengah sendiri dulu sempat masuk ke tempat hiburan malam tersebut. “Lho, kok Bapak ikutan masuk juga?” tanya saya dan teman-teman spontan. “Saya diajak kakak saya, katanya supa saya tahu Bali yang sebenar-benarnya. Karena kan pekerjaan saya ini sebagai pemandu, jadi ya saya harus tahu Bali luar dalam. Hanya sekedar tahu lho ya… Saya saja nggak tahan berlama-lama di situ.” Katanya sambil tertawa diiringi dengan tawa kami.

Dari Legian, saya kembali menuju hotel. Saya mendapat SMS bahwa dua teman saya yang semalam menginap di Sanur sudah menyewa mobil dan akan datang menjemput saya dan Riky. Hari itu saya akhirnya memutuskan untuk bergabung lagi bersama mereka karena rasanya rencana ke Ubud kurang memungkinkan. Kalau dipaksa-paksa sebenarnya bisa sih…saya menyewa motor matic dan bawaan saya berupa koper ditaruh di depan dan saya membawa tas berisi laptop. Tapi saya sedang tak mau repot. Lagipula sudah dua hari hujan selalu turun, rasanya itu akan menjadi hambatan juga untuk berkendara dengan motor. Jadi gaya backpacking-nya disimpan dulu aja yaaa..hehe…

GWK

Siangnya, kami menuju Garuda Wisnu Kencana (GWK), sebuah taman budaya dengan patung Wisnu dan Garuda berukuran besar. GWK, yang dibuat untuk menjadi salah satu landmark andalan Bali ini berada di Kab. Badung, sekitar 40 km dari Denpasar. HTM-nya adalah Rp25.000. Yang baru saya ketahui adalah bahwa ternyata di GWK juga setiap harinya ada pertunjukan seni gratisan, ada yang siang, sore, dan malam. Yah harusnya saya googling dulu ya. Kalau sudah tahu jadwalnya kan bisa ngepasin waktu kunjungannya. Lumayan kan sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.

Garuda Wisnu Kencana (GWK)

Karena belum makan siang, setelah jalan-jalan kami mampir di kafe GWK. Eh dunia sempit ya…makanannya kok ya makanan Sunda sih, menunya nggak jauh-jauh dari batagor, nasi timbel, dan cendol. Harga makanannya reasonable kok, sekitar Rp10.000 sampai Rp20.000-an.

Untuk keluar dari GWK, kami melewati toko souvenir. Memang biasa ya di tempat wisata kita dikondisikan untuk lewat toko semacam itu ketika mau keluar. Hehe.. supaya pengunjung belanja-belanja dulu. Tapi berhubung saya tidak mood belanja jadi ya lewat saja. Ternyata…di pintu keluar toko tersebut, ada maxi dress lucu-lucu… Harganya pun wajar yaitu Rp60.000. Saya sempat tertinggal dari rombongan gara-gara tergoda melihat-lihat, walaupun ujung-ujungnya tidak jadi membeli. Hehe..

Dreamland

Pantai Dreamland terletak tak jauh dari GWK. Dibandingkan dengan Kuta, saya lebih suka pantai ini karena lebih banyak batu karang dan kalau terus berjalan terus menyusuri pantainya, suasananya tidak terlalu ramai. Sore itu angin cukup kencang sehingga ombak pun meninggi. Para petugas keamanan pantai sampai meniup peluit agar mereka yang berenang sampai ke tengah dan orang-orang yang berselancar segera menepi.

Dreamland

Uluwatu Lagi

Karena dua teman saya belum menonton Kecak di Uluwatu, akhirnya kami ke sana lagi. Saya pun ikut dengan senang hati karena tak masalah menunggu sekitar 45 menit. Lagipula saya berharap kali ini sunset bisa terlihat karena langit cukup cerah. Saya mengambil beberapa gambar sunset sore itu. Sayangnya masih ada di HP saya yang sudah digondol copet. *curhat*

Ikan Bakar Baruna Sunset

Tempat makan ini adalah rekomendasi dari supir kami yang bernama Pak Nengah. Namanya memang sama dengan supir yang kemarin, namun Pak Nengah kali ini adalah orang yang berbeda. Hehe.. Setelah melihat-lihat menu, pilihan kami jatuh kepada paket keluarga yang harganya Rp195.000 untuk lima orang. Satu paket tersebut menu dan porsinya ternyata banyak, meskipun memang didominasi oleh menu ikan. Rasanya pun enaaaak… Tak menyesal rasanya makan di sana. Kenyang… Alhamdulillah.

Malam itu kami berempat menginap di rumah saudara Kak Febie (teman kantor saya) di Denpasar. Kami baru tiba di sana sekitar pukul setengah sebelas malam dan masih lanjut ngobrol-ngobrol dengan tuan rumah. Akhirnya saya baru tidur jam 1 dini hari. Ngantuuuuk…

Krisna

Hari Minggu, saatnya kembali ke Jakarta. Sebelum ke bandara, kami menyempatkan diri ke Krisna, pusat oleh-oleh yang letaknya sangat berdekatan dengan bandara. Awalnya saya memang tak berniat belanja, tapi begitu melihat harganya murah-murah…waaah..jadi tergoda juga. Tapi saat itu saya hanya belanja seperlunya sih, untuk keluarga saja. Walaupun Mama saya bilang tidak  perlu beli oleh-oleh soalnya di rumah sudah banyak baju Bali *sombong* hahaha..

Untung saja Krisna tak jauh dari bandara, karena selesai belanja waktunya sudah mepet sekali dengan waktu check in. Sepuluh menit setelah saya check in, eh langsung boarding. Hehehe… Thanks God saya tidak ketinggalan pesawat. Kalau iya, itu bisa menjadi pengalaman sangat LUCU.

Sampai jumpa lagi, Bali…. 🙂

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s