Other Stories

Secepat Laju Shinkansen

Layaknya kendaraan, hidup juga punya kecepatan. Setiap orang punya pilihan masing-masing dalam menjalani hidupnya. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa apa yang disebut dengan ‘kecepatan’ itu sebagian besarnya dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan.

Saya dan beberapa teman waktu itu sedang berjalan-jalan di salah satu dusun tempat kami melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Bintet, kabupaten Bangka (Juli 2009). Hari kedua kami menginjakkan kaki di tanah Bangka, maka kami masih melakukan observasi. Suasana sepi. Jarak satu rumah ke rumah lain agak berjauhan. Hanya sesekali kami berpapasan dengan orang di tengah jalan. Sampai di suatu sudut jalan, ada pintu rumah yang terbuka. Kami menyapa tuan rumah itu dan ia dengan ramah mengajak kami masuk ke rumahnya untuk berbincang-bincang.

Rumah itu sangat sederhana. Di samping rumah, kami melihat beberapa ayam sedang menikmati udara pagi. Hehe.. Bahkan sebagian ayam sampai masuk ke dalam rumah. Saya agak canggung juga untuk duduk di lantainya karena saya baru saja melihat dengan jelas ayam-ayam itu berkeliaran dan mengotori lantai. Tapi ya sudahlah..saya pura-pura tak melihat.

Saya lupa nama sang tuan rumah, sebut saja Pak Usman. Ia yang kira-kira berusia 30-an itu tinggal dengan seorang istri dan dua orang anaknya. Ia banyak bercerita tentang dusun itu, termasuk mata pencaharian penduduknya. Tentu jangan dibandingkan dengan di kota besar, di dusun kecil seperti itu pekerjaan tidak terlalu beragam, bahkan bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan dan penambang timah. Dua pekerjaan itu boleh dibilang bersifat substitusi satu sama lain. Pekerjaan menambang timah tidak bisa dilakukan kapan saja, karena di sana menambang timah bukan perseorangan melainkan menunggu jika ada proyek dari perusahaan timah. Nah ketika tidak ada proyek penambangan, mereka biasanya pergi melaut. Itupun sudah jarang ada yang punya kapal sendiri, kebanyakan mereka bekerja kepada pemilik kapal orang-orang Tionghoa di Pesaren, salah satu dusun lain yang ada di desa itu.

“Sudah berapa lama Bapak tinggal di dusun ini?” Tanya salah seornag teman saya.

“Wah..sudah lama sekali sejak saya kecil di sini. Sempat pindah ke desa lain sebentar, desa asal istri saya. Di sana tidak se’kampung’ seperti di sini. Ya kalau bekerja pun sudah banyak persaingan. Saya tidak betah. Lebih enak pulang ke sini..sepi, nyaman, hidup santai. Hehehe…” Ia tertawa kecil.

Menurutnya, apa sih yang mau dikejar dalam hidup ini? Yang penting bisa makan dan anak-anak bisa sekolah. Untuk mendapat penghasilan tambahan, ia beternak ayam kecil-kecilan. Kadang dijual, kadang dikonsumsi sendiri. Ia juga punya banyak pohon kelapa di sekitar rumahnya. Tapi di sana kelapa hampir tidak ada harganya. Kalau dijual paling-paling nilainya hanya Rp300-500 per buah, Namun di sana jarang ada yang beli kelapa karena hampir setiap orang punya pohon kelapa sendiri. Saya langsung berpikir, di Jogja saja segelas es kelapa muda harganya 4000-an rupiah. Wah, bisa untung besar ya kalo pakai kelapa yang harganya 500-an.

Ketika ditanya mengapa penduduk di sana tidak menjualnya ke kota, jawabannya simply karena tidak ada permintaan untuk kelapa. Lha wong di daerah lain di Bangka semuanya dekat ke pantai. Mereka punya kelapa sendiri-sendiri. “Mungkin tidak ya kalau dikirim saja ke Jawa?” celetuk teman saya. Dengan cepat Pak Usman mengatakan bahwa ia tak mengerti apa-apa soal transportasi dan bagaimana mengirimkannya. Lagipula kalau dipikir-pikir bisa jadi biaya kirimnya malah lebih mahal.

Salah satu solusi yang ditawarkan KKN kami berkaitan dengan kelapa ini adalah dengan meningkatkan nilai kelapa. Caranya? Mengubah kelapa menjadi berbagai produk misalnya Virgin Coconut Oil (VCO) dan nata de coco. Dengan juga memberikan pendampingan dan pelatihan untuk pengemasan produk, diharapkan kelapa-kelapa yang ada di sana tidak jatuh sia-sia sampai tumbuh tunas dengan sendirinya. Namun itu semua tak akan terwujud tanpa semangat dan kemauan dari masyarakat lokal sendiri. Merekalah yang menentukan kecepatan hidup mereka, apakah akan cepat, lambat, atau hanya diam di tempat.

Tiba-tiba saja saya teringat perjalanan saya ke Jepang akhir 2009 lalu, dimana semua berjalan serba cepat. Semua orang berjalan seolah tergesa-gesa, tak sempat tengok kiri-kanan, bahkan untuk mengomentari penampilan orang-orang sekitarnya yang di mata orang Indonesia seperti saya terlihat eye catching dan agak ngawur. Mereka sibuk mengejar mimpi-mimpi mereka sendiri. Bahkan ketika saya duduk di atas kereta Shinkansen yang super cepat itu, saya terlalu lelah untuk melihat pemandangan di balik jendela. Kereta berjalan terlalu cepat, pemandangan berganti begitu cepat, sampai saya tak bisa melihat apa-apa. Saya pun memilih tidur sedangkan kereta Shinkansen tetap melaju dengan kecepatannya.

Bagaimana dengan ‘kecepatan’ hidup kita sendiri?

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s