Indonesia, Traveling

Pejamkan Mata. Kita sampai di PEJEM!

Sunyi di Kolong Timah

Gara-gara nonton “Ethnic Runaway” di Trans TV episode ‘Pejem’, saya jadi pengen cerita secuil pengalaman menelusuri dunia antah berantah menuju Pantai Pejem di pelosok pulau Bangka. Ethnic Runaway adalah acara yang menampilkan selebriti yang berpetualang ke daerah pelosok Indonesia, tinggal di sana beberapa hari bersama masyarakat lokal, dan merasakan budaya dan adat setempat. Menarik juga… Nggak semata-mata ngeliat selebnya sih..hehe..tapi kita sebagai orang Indonesia jadi tahu bahwa ada orang-orang yang hidup di tempat yang sama sekali nggak terpikirkan, hidup sederhana dengan segala keterbatasan , dan masih menjalankan tradisi nenek moyang mereka (#bukaniklan).

Sama seperti namanya, pantai ini terletak di suatu dusun bernama Pejem. Gimana ceritanya saya bisa sampai ke sana? Hmm..pertama karena saya saat itu (2009) sedang menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di suatu dusun yang masih satu kecamatan dengan dusun Pejem, yaitu kecamatan Belinyu. Kedua, karena pernah mendengar cerita dari masyarakat sana yang bilang pantai Pejem itu indah. Ketiga, kebetulan ada kendaraan operasional KKN yang lagi nganggur dan kita-kita lagi nggak ada program. Dan yang terakhir: NEKAD. Hehehe…

Nekad karena sebenarnya tidak ada satupun di antara kami yang satu jalan ke sana. Kami hanya tahu bahwa di suatu persimpangan jalan dekat rumah Bu Neneng (salah satu tokoh masyarakat) ada belokan menuju daerah Pejem. Selanjutnya? Mungkin nanti bisa tanya-tanya orang yang ketemu di jalan. MUNGKIN.

Kolong timah menjelma danau

Landscape di pulau Bangka memang sangat beragam, namun satu hal yang sama hampir di setiap daerah yaitu terdapat bekas penambangan timah. Buat orang yang tinggal di kota, keliatannya keren banget ngeliat gunungan tanah dan batu berwarna putih menghampar di hadapan mata. Padahal aslinya sih itu tuh lingkungannya udah rusak karena setelah penambangan selesai bekasnya dibiarkan begitu saja. Bahkan saking luasnya, banyak juga bekas penambangan timah yang kemudian menjadi semacam danau jadi-jadian, biasa disebut kolong timah.

Begitu pula di jalan menuju Pejem. Nggak tahu ekspresi apa yang tepat menggambarkannya, tapi yang ada di pikiran saya saat itu adalah, “It’s so incredible!” Serasa ada di negeri antah berantah karena kanan-kiri-depan-belakang yang keliatan adalah hamparan berwarna putih, dengan beberapa kubangan air yang memantulkan cahaya matahari. Di suatu tempat kemudian kami berhenti lantaran melihat danau yang amat indah, itulah kolong timah. Dibandingkan kolong timah yang pernah kami lihat sebelumnya, yang satu ini terbilang cukup luas. Kami melihat dua atau tiga ibu-ibu sedang mencuci pakaian sementara anak mereka berenang dengan riang gembira. Lalu kami pun memulai photo session di sana. Hahaha..biasalah banci foto! Tapi hasilnya malah terlihat seakan kami sedang berada di pantai denga pasir putih dan langit yang biru cerah. Indahnyaaaa…

Dari sana kami meneruskan perjalanan. Nah lho..nah lho…makin lama makin sepi aja. Rumah-rumah sangat jarang terlihat. Di kanan-kiri hanya ada pepohonan dan semak belukar yang cukup tinggi. Sekalinya ketemu orang, itu ketika kami hendak melewati jembatan yang sedang dibangun. Kami pun bertanya ke mana arah pantai Pejem, ternyata bukan ke sana. Kami pun berputar lagi. Di sepanjang jalan, setiap bertemu orang maka kami akan bertanya. Sampai ada suatu belokan nggak jelas, “Nah kayaknya ini deh yang dimaksud orang tadi,” kata salah seorang di antara kami. Antara yakin dan nggak yakin, kami pun belok ke sana. Apaan nih? Kok lewat kuburan segala *mulai merinding* Setelah agak lama menyusuri jalan sempit itu, kami mulai melihat pohon-pohon kelapa yang dengan sotoynya kami jadikan indikasi bahwa pantai telah semakin dekat..dan…ya betul! Ada pantaaaaiii… Kami pun turun dari mobil dan berebut lari ke arah pantai. TAPI…

Rayuan pulau kelapa

“Pantainya kok bau sih? Apa ada yang kent*t ya?” kami mulai ribut. Bener-bener itu bau ‘sampah’ manusia. Kami menutup hidung. Dan karena nggak mau rugi sudah jauh-jauh ke sana, kami tetap berfoto untuk mengabadikan momen berharga mengunjungi pantai bau itu.

Lalu kami sampai pada kesimpulan bahwa bukan pantai ini yang dimaksud. Pasti kami salah jalan. Ini sepertinya memang tempat pembuangan akhir (TPA) deh. Hohoho… Dengan lunglai dan sedikit galau kami beranjak pergi dari sana.

Setelah bertanya sana-sini lagi, hari sudah semakin sore. Kami bersemangat untuk segera menemukan pantai Pejem yang konon amat sangat indah sebelum hari gelap karena kalau sampai pulang larut malam, kami nggak yakin bisa pulang dengan selamat sentosa.

Lagi-lagi jalan yang ditunjukkan orang adalah jalan yang nggak jelas. Maksudnya, karena sangat sulit dipercaya bahwa ada suatu tempat yang melewati jalan itu. Jalannya sempit, dipenuhi pepohonan dan semak belukar di kanan-kirinya, dan seolah tak menuju ke mana-mana. Ditambah lagi kami tak bertemu satu manusia pun di sepanjang jalan itu. Lalu kami bertemu jalan yang agak besar dan setelah itu ada jembatan. Hmm..deg-degan juga Si Putih (panggilan kesayangan untk mobil KKN-pen) bisa lewat nggak ya? Ngeri aja jembatannya langsung roboh. Dengan tega kami turun dari mobil dan membiarkan Kukuh melewati jembatan itu berdua bersama si Putih, sehidup semati, dengan alasan kalau penumpang pada nggak turun, takutnya jembatannya roboh. Lah kalau Kukuh jatuh bersama jembatan yang roboh? Itu belum kami pikirkan. Hahaha.. *jahat*

Jembatan kenangan 😉

Akhirnya si Putih bersama pengendaranya lewat jembatan dengan selamat. Kami pun mengucap syukur dengan penuh haru dan suka cita *lebay*. Seperti biasa, tak lupa kami mengabadikan momen berharga itu lewat beberapa jepretan foto *tetep banci foto*.

Fery dan Rumah ‘misterius’ (rumah ini masuk acara “Ethnic Runaway”)

Tak lama dari jembatan, kami pun tiba di dekat pantai. Di sana selain pohon-pohon kelapa, HANYA ada satu rumah yang berdiri. Ya, SATU. Apa nggak kesepian ya itu orang? Pertanyaan selanjutnya, “emangnya yang tinggal di situ benerang orang?” Hush, mulai ngawur! Karena nggak mau ngelunjak, kami pun mendekati rumah itu, bermaksud sekedar menyapa dan bilang permisi mau main di pantai. Eh ternyata ada penghuninya. Keluarlah seorang nenek dengan anaknya (agak-agak lupa anaknya masih muda apa udah ibu-ibu). Ternyata orangnya cukup ramah. Setelah berbasa-basi, kami pun ngacir ke pantai. Alhamdulillah..pantainya nggak bau! Hahaha.. Pantainya normal. Tapi kalo dibandingkan dengan cerita-cerita yang bilang pantai ini indah, kok nggak segitunya ya? Maksudnya ya nggak lebih bagus dari pantai Pesaren sih.. (lokasi KKN saya). Tapi mengingat perjuangan untuk sampai ke sana yang amat sangat mengharukan, kami pun bahagia bermain dan meloncat kegirangan di pantai. Berlari berkejaran dan main ciprat-cipratan air *sok kayak video klip*. Hari sudah mulai gelap, hasil foto nampaknya juga tak terlalu bagus.

Menjelang magrib kami meninggalkan tempat itu. Kayaknya suasana udah mulai magis *sugesti*. Sempet kepikiran juga, ibu itu kok bisa ya tinggal jauh dari dunia luar? Beneran itu mau ke jalan utamanya aja jauh bener. Gimana dia kalau mau beli sayur atau mau belanja yang lain-lain ya? Tanah di Bangka juga nggak subur-subur amat jadi dia nggak bisa berkebun di belakang rumah kayaknya. Hmm..entahlah, mungkin perlu ngobrol-ngobrol dulu sama nenek tadi kalau mau tahu cerita selengkapnya. Sayangnya saat itu kami juga belum berkesempatan mampir ke pemukiman suku Lom, penduduk asli daerah Pejem.

Pejem Celebration. Entah gaya apa ini.

Menurut cerita dari salah satu guru di SMP 4 Belinyu (tempat saya mengajar selama KKN), nama Lom itu berasal dari kata “belom”. Hal ini didasarkan pada kondisi mereka yang belum mengenal agama dan masih cukup primitif dan memegang teguh hukum mereka sendiri. Meskipun katanya mereka itu agak seram, namun mereka tentu akan bersikap baik kepada siapapun yang baik kepada mereka. Seperti yang digambarkan di acara “Ethnic Runaway”, mereka amat baik hati dan ramah, bahkan beberapa cukup kocak (joged-joged waktu denger lagunya Justin Bieber ;p). Oiya, beberapa murid di SMP 4 Belinyu juga merupakan orang suku Pejem lho. Ternyata ada juga dari mereka yang sudah agak terbuka dengan dunia luar. Saya cuma nggak kebayang gimana mereka berangkat sekolah dari Belinyu ke Desa Bintet yang jaraknya sangat berjauhan. Katanya sih mereka naik sepeda. Wowww…gempor banget pasti. Tapi saya salut akan semangat dan kegigihan mereka. Semoga kita yang lebih berkecukupan bisa terinspirasi dan kecipratan semangat juga.

Satu lagi, melihat bagaimana orang suku Lom begitu bahagia dalam segala keterbatasannya, saya semakin sadar bahwa setiap orang bahagia dengan caranya masing-masing. Mereka bahagia mandi di sungai coklat dan gosok gigi dengan lumpur karena seperti itulah yang mereka tahu sejak kecil dan mereka merasa bahagia karenanya. Bahagia adalah mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Bahagia ada karena rasa syukur. Bahagia itu diciptakan, bukan dicari.

Advertisement

2 thoughts on “Pejamkan Mata. Kita sampai di PEJEM!”

    1. Hehehe.. Semoga bermanfaat tulisannya, Cit. Kamu ganti blog? Kayaknya aku belum follow.
      Selamat bertualang ke Pejem ya. Jangan lupa mampir-mampir di kolong timah. 😀

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s