Kalau saya merindukan pantai, pastilah pantai-pantai di pulau Bangka menjadi yang paling saya rindukan. Dari beberapa pantai yang saya kunjungi selama saya di Bangka, ada satu nama yang selalu meninggalkan berjuta kenangan: Pesaren.
Pesaren bukanlah pantai wisata, setidaknya untuk saat ini. Meskipun pantainya indah, mungkin karena faktor lokasi yang cukup jauh dari pusat kota dan sarana transportasi yang belum memadai, pantai ini belum secara serius digarap oleh pemerintah setempat. Pesaren menjadi pantai yang akrab dengan saya karena pantai itu sangat dekat dengan pemukiman warga di mana saya dan teman-teman UGM melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada 2009 lalu.

Mungkin ini adalah hal yang tidak biasa, masyarakat Pesaren adalah orang Tionghoa. Potret ini bukan hal yang lumrah mengingat kebanyakan orang Tionghoa kita kenal kepiawaiannya dalam berdagang, tapi di Pesaren, mereka adalah para nelayan dan pelaut ulung.
Pagi itu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di pasir pantai Pesaren. Saya dan beberapa teman hendak membeli ikan untuk dimasak pagi itu. Sekitar pukul enam, Pesaren ramai oleh para nelayan yang baru saja menepi setelah semalaman melaut dan mencari ikan. Ikan-ikan itu memang sedianya dibawa ke pasar, namun cukup banyak juga warga sekitar yang langsung membeli di pantai.
“Ikan ni berape harganye, Koh?” tanya teman saya yang asli Bangka.
Kata “berape” dan “harganye” diucapkan sebagaimana orang Betawi mengucapkannya. Teman saya itu asalnya dari Pangkal Pinang. Menurutnya, semakin ke pesisir, pengucapannya berubah menjadi “o”. Orang Melayu yang juga tinggal di pesisir pantai Pesaren biasa mengucapkannya menjadi, “Ikan ni berapo harganyo?” Hehehe.. Mungkin jadi terdengar seperti orang Minang.
Pagi itu kami sedang beruntung. Alih-alih membeli, kami malah diberi ikan oleh salah satu nelayan di sana. Entah apa sebabnya, mungkin merasa iba pada mahasiswa yang datang dari jauh. Hehe ;D
Hari-hari setelah itu, pantai Pesaren menjadi favorite escape untuk saya dan teman-teman. Kalau ada motor yang lagi nganggur, atau sedang tidak ada kegiatan KKN, kami meluangkan waktu untuk menikmati sore dan sunset di sana. Atau juga sekedar bermain-main dengan anak-anak Pesaren.


Di Pesaren, saya juga menemukan kisah tentang perjalanan panjang orang Buton (Buton adalah salah satu pulau di sekitar Sulawesi). Mereka berlayar dari satu pulau ke pulau lain, menetap sementara, untuk kemudian berlayar lagi dan menemukan persinggahan lain. Saya baru tahu bahwa hidup macam itu masih ada di masa sekarang. Hidup berpindah-pindah dan mencari peruntungan di tempat baru.

Rumah-rumah mereka berdiri di pinggiran pantai-pantai, rumah yang tidak permanen dan hanya terdiri dari beberapa ruangan yang tak luas. Hampir semua orang Buton bekerja sebagai nelayan, membantu orang-orang Tionghoa Pesaren. Sebagian dari mereka juga ada yang bekerja sebagai penyelam untuk timah apung (kegiatan menambang timah di tengah laut).
Mungkin tak lama setelah kami meninggalkan Pesaren, mereka pun pergi ke tempat baru, tempat-tempat yang mungkin tak terduga.
Pesaren tak hanya pantai untuk bersantai dan menikmati debur ombak, namun pantai yang mengenalkan saya pada orang-orang baru, dan kehidupan yang belum pernah saya temui sebelumnya.