
Lalu lintas sore itu padat. Apakah kemacetan jam pulang kantor berlaku juga disini? Taksi kami melaju menuju Tan Son Nhat International Airport, Ho Chi Minh City, Vietnam. Sementara di luar sana motor dan mobil saling klakson seolah siapa yang klaksonnya paling keras ialah yang berkuasa di jalanan. Ketidaksabaran pengendara di kota ini seringkali memakan korban. Saat itu saja, saya melihat kecelakaan motor tak jauh dari taksi yang kami tumpangi.
Hari ini tepat dua puluh hari sejak keberangkatan saya dan Pupu dari Jakarta. Dua puluh hari memang tak cukup bagi saya untuk mengenal dengan sebaik-baiknya semua tempat yang saya singgahi. Pun dua puluh hari ini tak cukup dirangkum dengan kata-kata. Dua puluh hari yang akan selalu saya ingat. Dua puluh hari yang suka dukanya akan terus membekas di hati.
Sore itu Ngan, teman Vietnam saya, berjanji akan menemui saya di bandara. Tetapi sudah bolak-balik saya mencarinya tidak juga ketemu. Hari semakin gelap, saatnya saya dan Pupu masuk ruang tunggu. Kami berpisah menuju ruang tunggu berbeda. Saya menuju Jakarta, Pupu menuju Jogja. Selama perjalanan pulang, banyak pikiran yang terlintas. Terkadang ada semacam reka ulang, terkadang ada pertanyaan-pertanyaan, terkadang saya berusaha menjawab pertanyaan saya sendiri…terkadang…ah…banyak sekali.
Saya pernah merasa terkesima saat melewati perbatasan Malaysia-Thailand. Melewati garis formal perbatasan, kehidupan bisa berbeda. Plang nama jalan dan toko yang saya lihat sudah berubah hurufnya menjadi keriting. Bahasa berubah, kebiasaan-kebiasaan berlainan, bahkan pada titik yang paling ekstrem, ideologi dua negara berbatasan kadang berbeda 180 derajat. Perbatasan itu buatan manusia, tetapi manusia juga yang kemudian harus belajar beradaptasi dengan adanya batas itu.
Ketika kita berdiam di negara kita, terkadang ada prasangka tentang saudara kita nun jauh di negara lain. Kalau tidak berprasangka, mungkin kita sekadar bertanya-tanya bagaimana kehidupan mereka. Banyak orang Indonesia memandang sinis orang Malaysia karena berbagai ‘ulah’ negara itu terhadap bangsa kita. Tetapi saya punya teman di Malaysia. Dan saya tak akan pernah bisa membenci mereka seburuk apapun berita yang saya tonton tentang arogansi negara itu. Saya mengenal dan bersahabat dengan mereka karena diri mereka, bukan karena apa negara mereka, suku bangsa mereka, agama mereka. Saya punya teman Siti Hajar dan Hazizah Ali yang orang Melayu, saya punya kawan bernama Kenneth Koh yang bermata sipit sampai-sampai hanya menyisakan segaris saat ia tertawa.
Selama perjalanan, saya banyak dibantu orang lain, tak peduli dia orang Buddha di Thailand, orang tak beragama di Vietnam, juga sesama muslim di Phuket. Saya juga pernah ditipu habis-habisan di Siem Reap, Cambodia, yang menyebabkan saya selalu merasa was-was berada di kota itu. Tetapi ketika saya pergi ke Phnom Penh, saya bertemu kawan-kawan saya, orang Cambodia juga, yang memuliakan saya sebagai tamu dengan sebaik-baiknya.
Saya melihat bahwa batas-batas, nama-nama negara, bermacam-macam bendera, adalah produk buatan manusia yang terkadang justru dijadikan alasan untuk saling menuding dan saling membenci. Sampai disini, tiba-tiba seakan ada iringan lagu Imagine-nya John Lennon di belakang saya.
Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people living life in peace
Sebagian orang akan berdebat tentang lagu ini, salah satunya tentang kalimat “and no religion too”. Saya memandang itu adalah sebuah sindiran bagi kita umat beragama yang sering berkonflik atas nama agama. Padahal agama sejatinya mengajarkan persaudaraan dan perdamaian.
Selama dua puluh hari ini, saya mendapatkan lagi kesempatan untuk belajar bahwa manusia diciptakan berbeda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa, sesungguhnya untuk membuat kita semakin kaya. Kita belajar untuk mengenal dan memahami, yang dalam prosesnya akan membuat kita semakin kaya. Kaya hatinya.
Pesawat menyentuh landasan Bandara Soekarno-Hatta. Saya terbangun. Entah tadi saya tersadar atau bermimpi. Atau mungkin saya tertidur di tengah berbagai pikiran yang berkeliaran di kepala saya. Rasanya saya masih ingin bermimpi mengunjungi tempat-tempat baru dengan banyak saudara baru.
-Selesai-
Alhamdulillahirabbil’alamin.
*AseanTrip adalah kisah bersambung perjalanan saya bersama kawan saya, Pupu, backpacking 2010 lalu ke sembilan kota di lima negara Asia Tenggara. Selengkapnya sila baca tulisan sebelumnya di kategori ‘Traveling’ dengan tag ‘asean’. Kisah ini saya tulis secara berurutan (dari bag.1) dengan judul berawalan [AseanTrip]
Tulisan terkait: KLIK DI SINI
udah di-bookmark. Kapan2 mau baca Asean Trip. 🙂
LikeLike
Oke Mbak Ira! Ada di tulisan-tulisan sebelumnya ya. 🙂
LikeLike
Nicely written mbak.
LikeLike
Terima kasih, Mbak Inna.. Salam kenal yaa… 🙂
LikeLike
sama2 mbak e. sy manggilnya apa nih?
btw, sy belum berhasil mutasi postingan dari MP. lieur ngeikutin llink dimana2. dirimu punya shortcut yg ga bikin lieur kah? hehheh *ga mau susah *
LikeLike
Hehe..panggil Icha aja. 😀
Aku sempet ikutin link yang dikasih Mbak Onit (http://onit.multiply.com/journal/item/858) tapi sampai tahap ke sekian terus nggak bisa. Jadi sementara pakai tools manual haha.. Pilihin tulisan2 ttg traveling dulu terutama. 😀
LikeLike
mbak selain taxi klo dari/menuju bandara ma tempat inap (distrik 1) naik apa dan harganya berapa ya?
waktu naik taxi kemarin habis berapa? trims
LikeLike
Uhmm..aku kurang paham bus kota di HCMC. Naik taksi cukup ekonomis kok kalau rame2.
LikeLike