Asia, Traveling

[AseanTrip-19] Phnom Penh and Very Good Friends

[11 Oktober 2010]

Reuni

Pukul 9 pagi saya dan Pupu turun ke lobi. Ternyata disana sudah duduk manis tiga orang gadis Cambodia: Seylene, Thanine, dan Somarika. Ketiganya adalah teman saya dan Pupu. Kami bertemu Thanine pada November 2009 di Jepang saat mengikuti sebuah Student Conference yang diadakan ASEAN dan JICA. Sedangkan dengan Rika dan Seylene, kami baru bertemu tiga bulan sebelumnya di Yogyakarta. Mereka adalah peserta DREaM UGM International Summer School dimana saya dan Pupu adalah panitianya. Dan kebetulan juga bahwa mereka bertiga adalah teman kuliah. Kami saling melepas rindu, bertanya kabar satu sama lain. Tak lama setelah itu, Nary datang. Ternyata Nary adalah senior ketiga teman saya tadi di Royal University of Phnom Penh. What a small world!

Tuol Sleng (Genocide Museum)

Hari itu, kami berencana jalan-jalan ke Tuol Sleng (dikenal juga dengan sebutan Genocide Museum) dan Royal Palace. Kami mengendarai mobil sedan yang dikemudikan Nary. Dipas-pasin ya berenam., hehe… Setelah berdiskusi akhirnya kami memutuskan ke Tuol Sleng dulu. Langit mendung pagi itu berujung hujan lebat bertepatan ketika kami sampai di Tuol Sleng.

Gedung sekolah yang kini menjadi museum

Cambodia merupakan negara di Asia Tenggara yang terbilang cukup banyak memiliki konflik di masa silam (bahkan sampai sekarang). Tiga dasawarsa lalu, di Cambodia terjadi pembunuhan massal di bawah rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot (1975-1979). Museum ini sebenarnya dulu adalah gedung sekolah yang kemudian dialihfungsikan menjadi kamp penyiksaan. Semua pihak yang dianggap berbahaya atau tidak mendukung rezim Khmer Merah dibantai habis disini untuk kemudian mayatnya dikumpulkan di sebuah killing field di Choeung Ek. Tentu semua kisah yang tertinggal di museum ini adalah kisah yang memilukan dan membuat kita terheran-heran bahwa ada orang sekejam Pol Pot.

Atas: Salah satu ruangan berisi foto-foto, Bawah: Foto korban yang selamat

Museum ini terdiri dari banyak ruangan berbeda. Ada ruangan berisi dipan beserta rantai. Konon dulu tahanan yang ada di sini benar-benar tidak bisa bergerak dan dibiarkan mati perlahan. Ada juga ruangan lain yang terdiri dari sekat-sekat sempit yang digunakan sebagai ruang tahanan. Kalau ada tahanan yang melawan, mengelak dari pertanyaan, maka siap-siap diberi sengatan listrik. Selain itu, ruangan lainnya berisi foto-foto para korban (Pol Pot selalu mengambil gambar semua korban yang akan dibantai dan dibunuh), pakaian, dan lainnya. Dari sekian banyak orang yang masuk ke kamp tersebut, ada tujuh orang yang selamat.

Lunch Time!

Setelah hujan agak reda, kami menuju area Old Market di dekat Sungai Mekong untuk membeli tiket bus ke Ho Chi Minh City (HCMC). Eh tapi sebelum sampai di Old Market, Nary memarkir mobil di dekat areal Royal Palace. Di depannya terdapat taman yang cukup luas yang menghadap ke Sungai Mekong. Sepertinya tempat itu menyenangkan untuk bersantai dan menikmati suasana kota sekaligus pemandangan sungai Mekong yang melewati tiga negara itu. Kami pun berfoto-foto dulu disana. Kalau hari sedang cerah, pasti pemandangan lebih oke.

Dua kawan lama: Nary dan Icha πŸ˜€
Ki-ka: Seylene, Somarika, Icha, Nary, Pupu (Thanine took the pic). Foto: Dok. Pupu

Rencananya kami akan ke Vietnam keesokan harinya. Harga tiket bus PP – HCMC adalah 12 USD dan dari pilihan jadwal keberangkatan yang ada, kami memilih pukul 08.30. Karena saat itu sudah tengah hari, selesai urusan tiket, Nary mengajak makan siang dahulu. Baiklah…sepertinya saya juga sudah lapar. β€œWe’re going to halal restaurant, Icha…” Nary selalu ingat bahwa muslim punya aturan tersendiri soal makanan. Saya menyambut gembira.

Cafe Malaya, dimana saya pesta rendang! πŸ˜€

Restoran itu ternyata adalah restoran Malaysia. Waaah..langsung terbayang deh saya mau makan rendang. Setelah menderita dengan pola makan yang berantakan di Siem Reap, saya berniat makan enak siang ini. Menu disajikan dengan sistem prasmanan sehingga pembeli bebas memilih sendiri makanan yang diinginkan. Somarika excited sekali bertemu masakan Indonesia. Katanya sewaktu di Yogyakarta beberapa bulan sebelumnya, ia sangat menyukai makanannya dan selalu makan banyak, hehehe… (walaupun itu restoran Malaysia, tapi menunya serupa lah dengan masakan Indonesia. Plus ada sambal juga :p~). Kabar baiknya lagi, sewaktu mau bayar, ternyata Nary mentraktir kami semua. Ya ampuuun…ini rezeki dobel namanya! Alhamdulillah…

Sayangnya, Nary tidak bisa ikut serta menemani jalan-jalan ke siang itu karena ia sudah ada acara. Akan tetapi, ia berjanji akan menjemput saya dan Pupu untuk makan malam bersama. Sampai jumpa lagi, Nary!

Central Market

Kini kami tinggal berlima: saya, Pupu,Somarika, Seylene, dan Thanine. Saya dan Pupu diajak ke Central Market dahulu dengan menumpang tuk-tuk. Tempat ini juga dikenal dengan nama Russian Market. Katanya sih dahulu ini tempat belanjanya orang-orang Rusia yang ada di Phnom Penh. Untuk yang hobi belanja, pasar ini surga sekali lho… Harga berbagai souvenir terbilang murah dan itupun masih bisa ditawar. Bahkan jika dibandingkan dengan dengan belanja di HCMC dan Bangkok, Central Market Phnom Penh ini juaranya!

Model tuk-tuk Phnom Penh beda dengan yang di Bangkok
Sala satu toko souvenir di Central Market

Barang-barang yang dijual sangat beragam. Dari mulai T-shirt, scarf, berbagai pajangan, sampai buku petualangan Tin-tin in Cambodia (Waktu saya ke HCMC alias Saigon, banyak juga buku petualangan Tin-tin in Saigon. Pertanyaannya: Tin-tin pernah ke Indonesia nggak ya?). Karena keterbatasan space carrier, dari sekian banyak yang ingin dibeli saya hanya membeli satu scarf dan dua T-shirt bertuliskan β€˜Cambodia’. T-shirt itu awalnya ditawarkan dengan harga 2.5 USD. Lalu dengan teganya saya dan Pupu menawar jadi 1.5 USD. Hahaha… Si penjual minta dinaikkan sedikit lagi dan akhirnya kami sepakat di harga 3.5 USD untuk dua T-shirt. Apa namanya kalau bukan murah? ;D Selain itu, Seylene membelikan saya dan Pupu fridge magnet. Terima kasih, Seylene!

Royal PalaceΒ 

Setelah belanja di Central Market barulah kami menuju Royal Palace dengan menumpang tuk-tuk. Kalau dilihat dari bangunannya, mirip-mirip dengan Grand Palace di Bangkok, namun tidak lebih luas. Atmosfernya pun jauh berbeda dari Grand Palace Bangkok yang selalu ramai. Selain menikmati keindahan bangunannya, di dalam komplek Royal Palace juga terdapat beberapa gedung museum yang berisi pakaian dan alat musik tradisional, barang peninggalam sejarah, dan lain-lain. Juga ada satu ruangan berisi foto-foto keluarga kerajaan. Ada foto Bung Karno sama Norodom Sihanouk juga nih. Norodom Sihanouk saat ini sudah digantikan oleh putranya yang bernama Norodom Sihamoni. β€œHe’s still single,” kata Seylene, β€œinterested?” Hehe.. Makasih banyak ya! :p

Sore itu hujan kembali turun dengan derasnya. Seylene memberi tahu bahwa seorang temannya akan datang. β€œDo you remember Moniroth?” tanyanya. Dan yaaa..bukti lagi bahwa this world is so flat. Moniroth juga pada 2009 lalu sama-sama ikut Student Conference di Jepang. Kami berteman di Facebook walaupun saat conference tidak terlalu akrab karena berbeda kelompok.

Dalam hujan deras itu, kami masuk ke mobil Moniroth. Kini yang tersisa hanya saya, Pupu, dan Seylene karena Somarika dan Thanine sudha pulang terlebih dahulu. Kami berjalan-jalan keliling kota Phnom Penh sampai akhirnya terjebak banjir! It suddenly feels like Jakarta!

Sekitar pukul 6 sore, Moniroth mengajak ke mal. Iya deh, mau tahu mal di Phnom Penh seperti apa. Dan ternyata sepi, Saudara-saudara! Itu aja katanya mal yang lumayan populer di kota tersebut. Toko-tokonya juga masih ada sebagian yang kosong. Karena Moniroth lapar, kami mampir ke KFC *teteeep*. Inilah gaya narsis kami di KFC Phnom Penh.

atas: hujan di Phnom Penh (kiri: Moniroth), bawah: Seylene pakai jilbab πŸ˜‰Β foto: Dok. Pupu

Berhubung malam itu masih ada janji makan malam dengan Nary, saya tidak makan banyak. Cemilan french fries rasanya cukup. Nasi ayamnya saya bungkus saja untuk sarapan esok paginya, begitu pula dengan Pupu.

Pukul 7.30 malam, saya dan Pupu bertemu Nary dan Ly (temannya yang ikut menjemput kami malam sebelumnya), sedangkan Seylene dan Moniroth pamit pulang. We had a quite fancy dinner. Wow! Restoran dengan makanan lezat dan bonus pemandangan langsung Sungai Mekong. Di restoran tersebut juga ada penampilan Apsara Dance, tari tradisional Cambodia.

Setelah pengalaman pahit di Siem Reap, jalan-jalan di Phnom Penh dengan kawan-kawan baik menjadi suatu penutup perjalanan yang indah di Cambodia.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s