[10 Oktober 2010]
Sebelum matahari terbit, kami sudah siap di lobi guesthouse. Setelah pengalaman buruk dalam perjalanan Bangkok-Siem Reap di hari sebelumnya, rasa-rasanya berada di gueshouse ini membuat saya dan Pupu merasa aman. Orang-orangnya ramah dan dapat dipercaya. Pada pagi buta itu kami diperkenalkan dengan seorang supir tuk-tuk bernama Tina. Namanya feminin ya? Hehe… Tapi dia laki-laki kok.
Tentu misi kami pagi itu adalah berburu sunrise di Angkor Wat. Tuk-tuk melaju menembus dinginnya udara pagi. Sesampainya di loket, ternyata sudah berbaris rapi beberapa rombongan turis yang juga akan memasuki area Angkor Wat. Sebelum masuk, masing-masing pengunjung difoto terlebih dahulu untuk mendapatkan tiket masuk Ada beberapa pilihan tiket masuk ke komplek candi ini. Ada tiket untuk satu hari (20 USD), tiga hari (40 USD), dan 6 hari (60 USD).. Wisatawan yang memilih tiket lebih dari sehari biasanya mereka yang ingin mengeksplor Angkor Wat lebih jauh dengan bersepeda. Komplek candi ini memang terbilang sangat luas dan terdiri dari banyak candi berbeda.

Angkor Wat dibangun oleh Raja Suryavarman II pada pertengahan abad ke-12. Pembangunannya konon memakan waktu 30 tahun lamanya. Candi-candi di Angkor Wat ini ternyata merupakan perpaduan candi Hindu dan Buddha karena pada masa pemerintahan kerajaan saat itu sempat ada perubahan kepercayaan, agama Buddha menggantikan agama Hindu yang sebelumnya dianut oleh para raja disana.

Waktu saya membaca Lonely Planet yang Southeast Asia on a Shoestring, katanya sih nenek moyang orang Indonesia itu punya hubungan erat dengan orang-orang Vietnam dan Cambodia. Kalau dengan orang Cambodia sendiri, hubungan itu bisa terlihat dari kesamaan nama raja-raja yang berakhiran “warman”, “varman”, dll. Dan memang dulunya kerajaan di Cambodia itu termasuk wilayah kerajaan Buddha Indonesia yang akhirnya memisahkan diri.
Kembali ke Angkor Wat masa kini. Sayang beribu sayang pagi itu langit mendung. Mengawali pagi dengan menikmati indahnya matahari terbit di Angkor Wat tinggallah harapan. Saya dan Pupu menghela napas. Yah…beginilah perjalanan tak selalu sesuai dengan harapan kan? Tetapi kami begitu bersyukur bisa berada di tengah kemegahan masa silam Cambodia itu.
Sewaktu hari mulai terang, kami duduk-duduk di pinggir danau. Indahnya pagi di Angkor Wat…


Menjelang pukul delapan, perut sudah memberi isyarat lapar. Kami berjalan ke daerah dimana terdapat banyak penjual makanan. Akan tetapi, dari sekian pilihan makanan yang ada saat itu tidak satupun yang menggugah selera makan kami. Entahlah, dari penampakan dan baunya rasanya tidak menarik. Dengan terpaksa kami menunda sarapan dan memakan cemilan roti saja.
Meninggalkan Angkor Wat, kami menuju ke candi-candi lainnya dengan ditemani Tina. Pemandangan khas yang lazim ditemui di Angkor Wat adalah anak-anak kecil yang dengan ramah menawarkan 10 kartu pos seharga 1 USD. Cara mereka menawarkan sungguh simpatik sekali, misalnya seperti percakapan berikut.
“Hi, Miss. Where are you from?”
“Indonesia,” jawab saya.
“Oh… Jakarta. I like Jakarta.” kata anak itu. Mungkin jika saya dari Jepang dia akan mengatakan “I like Tokyo” Hehehe… Berarti dia harus hapal nama ibukota ya? 😀
Setelah itu barulah dia menawarkan kartu posnya. “Miss, please buy this. Ten postcard for one dollar…” Kalimat itu seragam diucapkan oleh semua anak-anak yang berjualan kartu pos. Saya sampai hapal mati kata-katanya dan terngiang-ngiang akan suara mereka yang imut itu.
Saat itu saya malas membeli apa-apa. Begitu pula dengan Pupu. Kami sibuk menolak secara halus dan mengatakan “thank you” sambil tersenyum manis. Sampai di candi ke sekian, kami bertemu dengan penjual kartu pos ke sekian, seorang gadis kecil. Dia terus mengintil kemanapun saya pergi. Sampai-sampai dia menawarkan akan memberi saya hadiah gelang asalkan saya mau membeli kartu posnya. Saya tetap bilang tidak dan berjalan cepat-cepat.
Saat saya menengok ke belakang, gadis kecil itu menatap saya dari kejauhan. Rupanya dia menyerah. Saya lalu berjalan dengan tenang. Sampai saya sadar, ada sesuatu yang nyangkut di atas tas saya. Gelang! Anak itu ternyata memberi saya gelang dan saya meninggalkannya begitu saja! How bad I was! Saya langsung merasa menyesal namun saya sudah terlanjur berjalan begitu jauh. Sepanjang jalan, saya berharap bisa bertemu gadis itu lagi.

Dalam kegalauan itu, saya dan Pupu melewati sekelompok pria paruh baya memainkan alat musik. Indah sekali, sampai saya tak tahu bagaimana harus mendeskripsikannya. It was magical! Terlebih lagi alunan musik itu dimainkan oleh orang-orang dengan tubuh yang tidak sempurna. Mereka adalah korban ranjau darat.

Pagi berganti siang. Saya dan Pupu menuju ke tempat kami janjian dengan Tina.Ternyata Tina sedang makan di sebuah warung. Kami pun menuju kesana dan dipersilakan masuk untuk melihat-lihat oleh penjaga toko. Selain menjual makanan, banyak juga dijual pakaian, topi, syal, dan kain khas Cambodia dengan berbagai corak.
Kami yang tidak membeli apa-apa kemudian berbincang dengan dua gadis yang bekerja di toko tersebut. Mereka menanyakan asal kami dan kami saling bercerita. Saya bilang bahwa kemampuan Bahasa Inggris mereka cukup bagus. Mereka bilang mereka sudah putus sekolah dan ikut kursus Bahasa Inggris yang memang disediakan oleh pemerintah setempat demi mendukung pariwisata di Siem Reap. Saya salut karena mereka begitu bersemangat. Katanya mereka juga sedang belajar Bahasa Prancis. Bahasa Prancis memang banyak digunakan di Cambodia karena dulunya negara ini merupakan jajahan Prancis.
Language crosses boundaries. Isn’t it right?
Lewat tengah hari kami meninggalkan komplek Angkor Wat. Satu hari tidaklah cukup untuk menjelajahi seluruh kisah masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali…
Tuk-tuk beranjak keluar…kembali ke kehidupan masa kini. Ini pertama kali kami melihat kota Siem Reap di siang hari. Suasananya menyenangkan juga. Sejuk, rapi, dan terdapat bangunan tradisional seperti gedung kesenian dan tempat-tempat beribadah. Namun rasanya kami tak akan berlama-lama di kota ini.
*Catatan: Mata uang Cambodia adalah Riel. 2010 lalu, kursnya 1 USD sekitar 4100 Riel. Namun di Cambodia mata uang USD juga berlaku secara umum dan diterima sebagai alat pembayaran. Nggak enaknya, kalau harga di toko pakai RIel lalu kita mau membayar dengan dolar, ataupun sebaliknya, si toko suka seenaknya menentukan kurs sendiri. Selisihnya itu bikin kita rugi-rugi dikit yang kalau lama-lama bisa menjadi bukit. Hohoho…
Suka sekali membaca catatan perjalanannya. Jadi ikut merasakan gimana serunya perjalanan kalian. 😀
LikeLike
Terima kasih sudah mampir dan membaca. Semoga bermanfaat ya. 🙂
Salam,
Icha
LikeLike