[Masih 9 Oktober 2010]
Kami memasuki Siem Reap ketika matahari sudah terbenam. Jujur saja saya tidak ada firasat buruk sampai supir taksi tiba-tiba menepi dan memberhentikan mobil. Dia kemudian berkata, “You can ride tuk-tuk from here.” Belum sempat saya berkata-kata, ia sudah membuka pintu dan mempersilakan kami keluar. Carrier di bagasi pun sudah dikeluarkan.
“What do you mean? And the tuk-tuk is for free?” tanya saya penasaran.
“Yes. The driver will drop you to the guesthouse.”
Saya masih belum bisa berpikir. Saya dan Pupu saling berpandangan merasa ada yang tak beres dalam hal ini. Tanpa berkata-kata, taksi tadi sudah menghilang begitu saja. Jadilah kini tinggal kami dan para supir tuk-tuk. Sementara itu, turis Korea yang belum reservasi guesthouse pasrah mau diajak kemanapun oleh supir tuk-tuk.
Dari sekian banyak tuk-tuk yang berbaris rapi, ada satu orang yang sepertinya menjadi koordinator atau mungkin calonya. Terjadilah negosiasi yang sangat alot. Ternyata kami dipersilakan naik tuk-tuk gratis sampai guest house, tetapi….esok harinya kami harus pakai tuk-tuk itu untuk keliling Angkor Wat dengan tarif 20 USD. Apa?? Ini perampokan namanya. Karena info yang saya peroleh, untuk berkeliling seharian di Angkor Wat biasanya tarifnya 10-12 USD saja. Kami juga curiga bahwa supir tuk-tuk akan membawa ke guesthouse yang sudah ada kerjasama dengan mereka agar dapat komisi. Padahal saya dan Pupu sudah reservasi guesthouse sendiri.
Sungguh saya dan Pupu sampai emosi. Nada kami meninggi saat bicara dengannya. Saya bilang saya punya nomor telepon guesthouse dan lebih baik kami minta dijemput saja. Pokoknya kami tidak mau naik tuk-tuk mereka kalau ujung-ujungnya dipaksa bayar 20 USD untuk trip ke Angkor Wat. Melihat kami yang super ngotot, si calo tuk-tuk itu melunak. Ia berbicara dalam Bahasa Khmer dengan supir tuk-tuk lalu mempersilakan kami naik ke tuk-tuk. “Okay…okay… We will drop you to the guesthouse you want. ”
“And we don’t want to use this tuk-tuk tomorrow. Too expensive!” saya dan Pupu menambahkan. Ia mengangguk.
Jujur kami sudah capek berdebat. Kami naik saja. Apa yang terjadi, terjadilah.
Lalu apa yang terjadi? Saya dan Pupu dibawa tuk-tuk itu ke jalanan yang super gelap. Kanan kiri kami hanya semak-semak setinggi orang dewasa. Hampir tak ada lampu sama sekali sepanjang jalan. Kami hampir tidak berpapasan dengan kendaraan lain. Bayangkan, baru sampai di negara orang, hari sudah gelap, entah sedang berada dimana, dan naik tuk-tuk dengan supir yang tidak bisa dipercaya. Ditambah lagi sebelumnya kami habis berdebat hebat. Saya berpegangan tangan dengan Pupu. Apakah ini akan menjadi akhir perjalanan kami?
“Jangan-jangan orang tadi sebel banget sama kita ya… Kalau kita diturunin disini gimana ya? Banyak-banyak doa aja…”
Setelah deg-degan selama sekitar dari 20 menit, akhirnya kami melihat cahaya. Kelap-kelip lampu di langit malam Siem Reap. Perlahan mulai ada bangunan, warung-warung kecil, dan rumah. Alhamdulillah… Kita nggak jadi diculik atau diturunin di semak-semak! Terima kasih ya Allah…
Sesampainya di daerah penginapan, tuk-tuk berhenti.
“This is your guesthouse.” Kata supir itu.
Kami melihat tulisannya. Jelas-jelas bukan ‘Popular Guesthouse’ yang kami maksud. “But this is not our guesthouse,” kata saya dan Pupu.
“There are Popular Guesthoues 1 dan 2….” bla bla bla… Kami sudah tahu arah pembicaraannya. Penipuan lagi ini. Gila ya..masih saja mencoba menipu di saat-saat terakhir.
Pupu masuk ke guesthouse tersebut dan menanyakan kepada resepsionis. Untungnya si resepsionis tidak mengerti adanya kongkalikong ini. Dia bilang bahwa kalau mau ke Popular Guesthouse masih lurus lagi. Kami langsung deh merenggut sama supir tuk-tuk. “It’s over there!” Dengan terpaksa supir tuk-tuk akhirnya membawa kami ke guesthouse yang kami tuju.
Kami turun, menuju resepsionis, dan langsung curhat soal kejadian yang baru saja menimpa kami. Kami meminta bantuan resepsionis untuk bicara dengan supir tuk-tuk itu. Yang jelas kami tidak mau membayar jasa tuk-tuk nya dan juga tidak mau menumpang tuk-tuk itu untuk jalan-jalan ke Angkor Wat besok.
Dengan sabar, resepsionis mendengarkan kelur kesah kami. Lalu dengan sopan ia meminta kami memberikan saja beberapa dolar kepada supir itu dan urusan selesai. Dia sendiri tidak berani karena supir tuk-tuk semacam itu katanya sudah ada sindikatnya. Kalau guesthouse mereka sampai berani macam-macam, mungkin bisa-bisa diboikot. Dia menjanjikan untuk ke Angkor Wat besok, dia sudah ada supir yang direkomendasikan dan bisa dipercaya.
Tiga lembar uang pecahan satu dolar mendarat di tangah supir tuk-tuk menyebalkan itu. Saya malas basa-basi, saya hanya bilang besok pagi tidak usah datang menjemput. Saya dan Pupu kemudian naik ke lantai dua, ditunjukkan kamar tempat kami akan tidur malam itu.

Kamar yang kami pesan adalah twin bed dengan kamar mandi dalam dan kipas angin. Harga per malamnya hanya 6 USD. Worth it lah. Kami langsung mandi dan berusaha menyegarkan pikiran. Masih ada kesal yang tersisa. Apalagi perut lapar… (Dalam keadaan lapar, emosi makin tak terkendali ya…hehe..)
Maka kami pun berjalan menuju Siem Reap Night Market tak jauh dari guesthouse. Sepanjang jalan banyak sekali ditemui hotel-hotel mewah yang sangat wow! Pasti mahal deh tarif per malamnya. Malam itu hujan rintik-rintik. Suasana pasar cukup ramai. Hmm…banyak juga ya turis yang tertarik ke Siem Reap. Karena apa lagi kalau bukan karena Angkor Wat?

Kami menepi di sebuah warung tenda. Duduk berdesakan dengan turis bule dan Jepang. Nasi goreng dengan udang imut-imut mengisi perut kami malam itu.
Enough for today. Oh Cambodia… Oh Siem Reap… What’s gonna happen next???