Asia, Traveling

[AseanTrip-9] Penang dan Sahabat Lama

3 Oktober 2010.

Selamat pagi Penaaaang…

Sebelum berangkat jalan-jalan seputar George Town, saya dan Pupu menikmati sarapan yang disediakan di hostel. Menu roti tawar dan butter rasanya menjadi standar sarapan di kebanyakan budget hostel. Disajikan segelas orange juice, rasanya sarapan tersebut sudah cukup lengkap. Selain itu, disediakan pula teh dan kopi yang bebas dipilih oleh tamu hostel.

Breakfast

Untuk jalan-jalan di Singapura, Malaysia, dan Thailand, buku Claudia Kaunang (terbitan Bentang) yang berjudul “Rp2 Juta Keliling Thailand, Malaysia, & Singapura,” menjadi salah satu panduan utama kami. Untuk di Penang sendiri, disebutkan bahwa terdapat Central Area Transit (CAT), yaitu “hop on – hop off bus” gratis yang disediakan untuk para wisatawan. Tentu saja ini sangat memudahkan karena rute bus tersebut akan melewati spot wisata yang terletak di pusat kota.

Halte Central Area Transit (CAT)

Dari Hutton Lodge, tempat kami menginap, kami berjalan ke arah Jalan Penang. Halte bus terdekat adalah Halte no.12 Chowrasta, letaknya dekat dengan pasar. Di halter tersebut tertulis: Bas Percuma/Free Shuttle alias Bus Gratis. Hehe… Ternyata bukan hanya wisatawan saja yang naik bus tersebut, ada juga beberapa ibu-ibu yang habis berbelanja di pasar dan hendak pulang ke rumahnya. Mungkin kebetulan rumahnya dilewati rute. Karena bus tidak terlalu penuh, sang supir pun tidak melarang.

Kuan Yin Teng

Tempat pertama yang kami singgahi adalah Kuan Yin Teng (Temple of The Goddess of Mercy) yang terletak di Jalan Masjid Kapitan Keling. Konon kuil ini adalah kuil tertua di George Town. Pagi ini suasana kuil sudah sangat ramai. Orang hilir mudik dan khusyuk beribadah. Sementara di halaman kuil, dekat dengan trotoar, saya juga melihat antrean yang cukup panjang bagaikan antre sembako. Dan nampaknya memang demikian. Satu per satu menyingkir dari antrean setelah mendapatkan sebuah bungkusan, mungkin ini semacam charity.

dari kiri atas: 1) toko bunga-nya orang India; 2) saya di depan kuil; 3) orang sembahyang

Tepat di samping kuil, berjejer toko-toko dengan bau khas India dan musik India. Beberapa langkah berjalan bagaikan membawa saya ke negara lain dengan suasana lain. Bapak-bapak dan ibu-ibu India tersebut menjual bunga-bungaan yangs udah dirangkain secantik mungkin, kebanyakan menjadi sebuah kalung besar untuk acara adat maupun sembahyang.

Berjalan lurus beberapa langkah lagi, kami bertemu masjid. Inilah Masjid Kapitan Keling, yang namanya diabadikan menjadi nama jalan ini. Masjid ini adalah masjid tertua di George Town dan dulunya merupakan state mosque di Penang (saya tidak menemukan padanan kata dari state mosque ini. Kira-kira bahasa Indonesia-nya apa ya?). Nama Kapitan Keling sendiri diambil dari nama Caudeer Mohudeen, pemimpin dari komunitas Muslim India di Penang yang membangun masjid ini pada tahun 1800-an. Kapitan Keling adalah sebutan bagi pemimpin komunitas muslim India saat itu. ‘Kapitan’ berasal dari kata ‘captain’ (Bahasa Inggris), sedangkan ‘keling’ dari istilah kerajaan Hindu Kuno yang berarti sejenis kayu. Kalau saya simpulkan, mungkin dulu orang-orang India memperdagangkan dan membawa kayu-kayu tersebut ke Penang.

ki: nemu kuil pas jalan-jalan random, ka: Masjid Kapitan Keling

Matahari semakin terik. Saya dan Pupu melirik peta dan mencari kira-kira tempat apa lagi yang bisa kami kunjungi di sekitar sini, supaya tidak naik bus lagi. Di peta tersebut kami mendapati bahwa ada beberapa Budhist Temple dan Hindus Temple yang terletak di sekitar situ. Akhirnya secara random, kami menyusuri jalan-jalan kecil sekitar Jalan Masjid Kapitan Keling (eh sebenarnya bukan jalan kecil sih, hanya saja itu bukan jalan utama. Kalau di Penang, mereka menggunakan kata “street” dan kata “lane” untuk membedakan jalan utama dan yang bukan jalan utama. Tempat saya menginap misalnya, terletak di Hutton Lane, bukan Hutton Street).

All about India di Little India

Dari penelusuran random tersebut, kami menemukan beberapa temple. Selain itu, kami juga menyusuri jalan yang isinya semua toko-toko dan restoran India, bahkan tempat rental film-film India. Oh..pantas saja, kemudian saya melihat plang bertuliskan “Little India” di ujung jalan itu. Ternyata bukan Singapura saja yang punya Little India, hehe..

Menjelang tengah hari, kami memutuskan untuk menuju Kek Lok Si dan Bukit Bendera. Kedua tempat wisata tersebut tidak terletak di tengah kota sehingga kami harus naik bus berbayar (bukan CAT seperti sebelumnya). “Where are you going?” kata sang supir menyadari bahwa kami adalah turis. Lalu kami menyebutkan tujuan kami. “Unfortunately you can’t go to Bukit Bendera because it is closed. There is some reconstruction at the moment,” kata sang supir. Hmm..jadilah kami memutuskan untuk ke Kek Lok Si saja, kebetulan busnya memang satu arah.

Kek Lok Si

Dan…tadaaaaa… Di siang bolong itu kami tiba di depan Kek Lok Si dan menemukan bahwa untuk sampai ke kuilnya, perlu menaiki banyak sekali anak tangga. Hosh..hosh… Olahraga siang yang cukup menguras tenaga. Baiklah..demi sampai di Buddhist Temple terbesar di Asia Tenggara (kata Wikipedia sih begitu..). Kek Lok Si mulai dibangun pada 1890 yang terinspirasi oleh kepala biksu di Kuan Yin Teng, kuil Budha yang saya kunjungi sebelumnya. Sesampainya saya di Kek Lok Si, saya bertemu beberapa orang berpakaian biksu (maka bisa disimpulkan mereka adalah biksu, bukan? ;p). Mereka terlihat riang gembira dan sedang berfoto. Biksu juga manusia ya, suka narsis dan punya keinginan untuk mengabadikan momen-momen berharga 😉

Turun dari Kek Lok Si, kami kembali ke hostel. Setelah makan siang dan beristirahat sebentar, kami mulai berjalan lagi. Sore itu kami ada janji bertemu dengan Hajar dan Kenneth, dua sahabat saya semasa pertukaran pelajar di Korea tahun 2007 lalu. Karena Hajar bukan orang Penang (hanya kebetulan sedang ada dinas di Penang), ia agak kesulitan menemukan hostel kami. Akhirnya kami sepakat bertemu di Prangin Mal yang terletak tak terlalu jauh dari Jalan Penang. Saya dan Pupu sekalian mencari tiket termurah untuk berangkat ke Phuket keesokan harinya. Di sekitar mal tersebut, banyak sekali agen perjalanan yang menyediakan bus maupun minivan ke beberapa kota lain, baik lintas negara maupun di dalam wilayah Malaysia sendiri. Kebanyakan agen menawarkan minivan ke Phuket dengan harga 70 RM (Rp199.500). Setelah kesana kemari, harga termurah yang kami dapatkan hanyalah beberapa ringgit lebih murah, tak berbeda jauh.

Sekitar pukul setengah 5 sore, kami akhirnya bertemu Hajar. Huaaa… Rasanya sulit digambarkan, bertemu lagi dengan sahabat lama setelah tiga tahun berpisah. Kami bertiga bergegas ke mobil dan meninggalkan Prangin Mal. Hajar mengajak kami menikmati sore di pinggir pantai. Lihatlah makanan dan minuman yang Hajar pesankan untuk kami: Pasembur (rujak atau salad khas Malaysia-India berisi timun, bengkuang, krupuk, dll), kerang bakar, kelapa muda, dan es buah. Nyammmm… Jarang-jarang kami makan cemilan selama perjalanan ini, budget kami hanya untuk makan besar. Hehehe.. Thanks for the treat, Hajar! Pasembur is sooo yummy 😉

atas: pasembur. bawah: saya, Pupu, Hajar

Cemilan tadi sebenarnya sudah cukup mengenyangkan. Namun, malam harinya, kami bertiga dan Kenneth akan bertemu di sebuah mal dekat Sungai Nibong (tempat terminal bus ketika kami tiba di hari sebelumnya). Hari itu Ken bekerja sampai sore, dan karena rumahnya terletak di sekitar Sungai Nibong, ia pun mengusulkan untuk bertemu di sana.

Kenneth. Selama tiga tahun hampir tak ada perubahan dalam dirinya. Ia selalu lucu, ceria, dan bersahabat. Logat Chinese-nya saat berbahasa Inggris masih menjadi ciri khasnya. Hehehe..jadi ingat dulu waktu di Korea, kami punya julukan masing-masing, yang terdiri dari tiga suku kata sebagaimana nama Korea. Nah, Ken mendapat nama 눈어디 (yang kurang lebih kami maksudkan sebagai, “where is your eyes” ). Hahaha… Ide itu berangkat dari sipitnya mata Ken, dan saat tertawa matanya pasti seakan terpejam. Maaf, bukan rasis, itu hanya candaan normal di antara kami (yang tentunya tidak akan kami lakukan kepada orang lain yang tidak akrab). Nana sampai pernah bilang, “Ken, I’ll treat you ice cream everyday for a week if you laugh with your eyes opened”. Dan Ken pun tertawa terbahak-bahak, tentunya dengan mata terpejam. Hahahaha…

Dinner and one sweet reunion 🙂

Ken mengajak kami makan di sebuah restoran yang…uhmm…ngeri juga, harganya lumayan mahal (untuk budget backpacker). Saya sama Pupu pasrah aja deh, yaudah sekali-kali makan enak dan keluar uang lebih dari budget biasanya. Yang penting saya fokus dalam sebuah reuni yang belum tentu setahun sekali ini. Saya amat menikmati saat-saat kami mengobrol malam itu, cerita tentang masa kuliah, pekerjaan, juga gosip-gosip seputar alumni program pertukaran pelajar yang kami ikuti. Hihihi.. Pupu pun cukup nyambung dalam percakapan itu. Dan ia sempat bilang, “Ih..iri banget deh kalian bisa sedekat dan seakrab ini, walaupun udah lama nggak ketemu.” Saya tersenyum. Iya lah, programnya satu tahun. Bahkan udah sempet ada yang marahan dan baikan lagi, dan kemudian menjadi lebih mengenal satu sama lain.

Di akhir makan malam, saya dan Pupu bernapas lega. Terima kasih Ken, ternyata semua makanan tadi adalah traktiran. Alhamdulillah… Lalu sebelum kami berpisah, Ken memberikan sebuah plastik berisi oleh-oleh makanan khas Penang. Saya terharu :’). Di waktu yang sama, saya juga agak bingung karena oleh-oleh itu akan menambah beban di backpack saya. Hoho..

Thanks my dear friends, Hajar and Kenneth. Love you both… ❤

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s