Temanku bertanya di suatu malam di pinggir sungai Mekong yang melewati kota Phnom Penh, “Sudah berapa kilometer jarak yang kau tempuh?”
Aku tersenyum. Entahlah..mungkin nanti aku akan menghitungnya, seraya mengingat kembali manusia-manusia yang kutemui selama perjalanan. Yang datang dan yang pergi. Juga berbagai kejadian, yang manis dan yang pahit.


Jakarta-Singapura 899 kilometer
Aku tiba hampir tengah malam di suatu sudut Hong Kong Road di Singapura. Dalam keadaan lelah setelah berjalan dengan beban 10 kg di punggung, aku masih harus menaiki tangga sampai ke lantai empat. Namun kelelahan itu seakan sirna ketika Jacky tersenyum dan menyambut ramah di hostel minimalis berisikan backpacker dari berbagai belahan dunia. Ia kemudian menyuguhkan segelas air es yang rasanya bagai air hujan yang jatuh di gurun gersang. Ia menyambut kami layaknya sahabat yang tak lama bersua walau sebenarnya itulah kali pertama kami berjumpa.
Di tempat itu, aku juga berjumpa dengan para backpacker dari berbagai negara. Berbagai perbincangan dengan mereka benar-benar inspiratif. Banyak orang yang keluar dari zona nyamannya untuk melihat dunia luar. Bukan sekadar untuk bersenang-senang ‘membuang’ uang, namun lebih dari itu keinginan untuk belajar lah yang mendorongnya. Aku semakin menyadari, traveling juga adalah salah satu cara untuk membangun saling pengertian dan perdamaian dunia. Kuharap pandanganku itu tidak berlebihan.
Singapura-Melaka 196 kilometer
Di Melaka, aku berjalan menyusuri bangunan-bangunan tua bergaya Cina. Matahari hampir tenggelam ketika aku sampai di depan rumah berlantai dua, satu dari bangunan tua yang berjejer di jalan itu. Seorang pria paruh baya membuka pintu dan memperkenalkan dirinya sebagai Raymond. Ia lah yang mengelola guesthouse itu, sebuah rumah tua di pinggir sungai Melaka di mana aku bisa menikmati pemandangan indah di beranda belakangnya. Rumah sederhana, lantai duanya berlantai kayu. Tak ada kata lain selain keakraban dan kehangatan di sana, juga lezatnya beberapa potong banana cake buatan Mani, istri Raymond, yang siap mengisi perut saat lapar.
Saat aku hendak meninggalkan rumah itu, aku sempat mengobrol dengan seorang nenek yang juga tinggal di sana. Sedari kemarin, aku melihatnya hanya duduk-duduk di pinggir sungai dan bersantai di kursi malas. Ia melakukan perjalanan dengan suaminya. Dan percaya atau tidak, keberadaannya di Melaka baru merupakan dua minggu pertama dari perjalanan yang rencananya akan ia lakukan selama setahun mengelilingi berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia. Aku selalu membayangkan bahwa itu adalah cara menghabiskan masa tua yang menyenangkan :). Kita bekerja mencari uang selama hidup, tak ada gunanya memiliki terlalu banyak materi. Selain charity, traveling adalah cara yang baik untuk menghabiskan uang karena pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Melaka-Kuala Lumpur 124 kilometer
Bus yang membawak dari Melaka tiba di Kuala Lumpur hampir tengah hari. Di keramaian kawasan Bukit Bintang, aku ‘terdampar’ di suatu guesthouse dengan seorang Bapak sipit yang cukup berumur di meja resepsionis. Keramahannya tak dibuat-buat, ia menyambutku dengan senang, sambil berkata Ia juga memiliki keluarga di Indonesia. Ia menyebut dirinya ‘Oom’, walau aku tersenyum dan dalam hati berkata aku hampir memanggilnya ‘Kakek’. Esok harinya, sewaktu aku hendak meninggalkan kota ini, aku bertemu tiga orang sebangsa yang telah lama bekerja-entah di perusahaan apa-di Negara tetangga ini. Akh, seberapa sebalnya pun warga bangsaku terhadap negara ini, masih banyak juga orang-orang yang mencari rezeki di sini. Mereka bertahan setelah sekian lama, sudah pasti karena mereka merasa peluangnya lebih baik.
Kuala Lumpur-Penang 292 km
Bus yang nyaman itu membawaku sampai ke Penang dalam waktu enam jam. Dari terminal bus, ternyata untuk sampai di George Town masih cukup jauh. Untunglah banyak orang baik yang membantu untuk menemukan tempat yang kutuju. Sejauh dari Melaka sampai Penang, belum pernah aku merasakan perlakuan yang tidak mengenakkan dari warga lokal. Tak ada yang membeda-bedakan meskipun mereka tahu aku ini orang ‘Indon’. Di kota ini, aku akan menemui dua sahabat lamaku, Siti Hajar dan Kenneth. Kami bertiga bertemu tiga tahun lalu di Korea dan menghabiskan satu tahun bersama di sana dalam program pertukaran pelajar yang sama. Tiga tahun terasa baru kemarin, dan ketika kami berjumpa lagi, betapa telah banyak yang berubah. Masing-masing mempunyai cerita sendiri dan kami tak sabar untuk saling berbagi kisah itu. Memang siklus kehidupan selalu melaju..namun satu yang tak berubah, persahabatan ini masih seperti dulu. Sungguh aku tak ingin melepaskan kebersamaan singkat itu. Aku ingin selalu memeluk setiap tawa kebersamaan yang ada.
Penang-Phuket 381 kilometer
Perjalanan yang panjang dengan entah berapa kali berganti minivan. Aku menginjakkan kaki di Phuket setelah hampir 13 jam berada di atas kendaraan, membelah kota demi kota di Negara Malaysia dan Thailand. Sungguh menakjubkan bagaimana jarak yang amat berdekatan bisa memiliki budaya yang berbada, bahasa yang berbeda, orang-orang yang berbeda. Oh satu lagi..musik yang berbeda. Hehehe.. (mengingat sang supir minivan tak bosan memutar musik Thailand yang agak ganjil di telinga saya. Sampai-sampai saat itu saya berpikir, “Oh please give me ST 12 music instead..” ;p).
Kami bermalam di salah satu hostel yang direkomendasikan Lonely Planet dan banyak traveler. Ketika baru saja sampai, kami bersyukur berada di sana karena lagi-lagi para stafnya sangat ramah. Namanya Jameela, ia bertanya apakah aku muslim dan langsung menyadari bahwa itu adalah pertanyaan yang retoris. “Oh my God, of course you are muslim.. you’re wearing veil..” katanya sambil tertawa. Ia juga seorang muslim, “Although I don’t wear veil, I am muslim,” ia meyakinkan. Aku mengangguk dan tersenyum. Esok harinya, seorang resepsionis muslim lainnya berinisiatif mengantarku ke sebuah pasar. Ia menunjukkan di mana makanan halal dan memperkenalkan beberapa makanan tradisional Thailand (indahnya persaudaraan..). Lucunya, aku seringkali diajak berbicara bahasa Thailand oleh orang lokal. Mereka menganggap aku adalah muslimah Thailand. Aku hanya gelang-geleng tak mengerti.
Phuket-Bangkok 840 kilometer
Kali ini aku terbang, dengan pertimbangan perjalanan ke Phuket sudah cukup melelahkan. Tanpa diduga, hostel yang sudah aku pesan adalah hostel yang sama di mana aku tinggal di Bangkok tiga tahun lalu. Yang agak berbeda dengan tempat-tempatku tinggal di kota sebelumnya, tempat kali ini tak terlalu hangat, hanya sekedar tempat singgah dan tidur. Interaksi pengelola hostel dan turis yang datang hanya sebatas kepentingan bisnis semata. Aku pun tak ambil pusing.
Di Bangkok, aku janji bertemu dengan Nadine, sahabat yang juga aku kenal semasa di Korea. Setelah dua hari akhu habiskan berjalan-jalan di seputar kota, aku dan Nadine bertemu di malam kedua. Ia harus bekerja sampai malam dan aku pun mengerti betapa sempit waktu yang kami miliki. Nadine menemukanku sedang duduk di pinggir Khao San Road, menikmati banana cake dengan ekspresi kelaparan. Aku pikir Nadine tak akan datang karena tak ada pesan singkatku yang dibalas. Tenyata memang ada yang salah dengan koneksinya. Kami pun menghabiskan waktu dengan berjalan di sepanjang Khao San Road sambil bercerita tentang ini dan itu.
Bangkok-Siem Reap 539 kilometer
Bisa dibilang, ini adalah rute yang paling menantang dan banyak dibicarakan para traveler. Perbatasan darat antara Thailand dan Kamboja ini dipenuhi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri. Dari mulai supir tuk-tuk yang bekerja sama dengan calo pembuat visa, gedung consulate general Kamboja yang palsu, pegawai pemerintah yang korup, sampai supir taksi yang menurunkan penumpang seenaknya. Begitulah perjalanan tak selalu indah, namun yang penting adalah persiapan dan antisipasi. Dan jika akhirnya aku mengalami hal yang tak menyenangkan, maka yang aku butuhkan adalah kemampuan untuk menertawakan hal pahit itu beberapa jam kemudian.
Di taksi menuju Siem Reap, kami berbagi taksi dengan dua backpacker dari Korea. Salah satu dari mereka sudah melakukan perjalan selama 20 hari melintasi berbagai kota di Thailand dan Laos. Dan sesampainya kami di guest house, setelah lelah dengan segala ‘kejahatan’ yang ditemui selama perjalanan, aku merasa beruntung dikelilingi orang yang baik hati. Ada Sophal sang manajer muda, juga supir tuk-tuk yang mengantarkanku ke Angkor Wat, Tina namanya. Hari kedua di Siem Reap, sejujurnya aku mulai jatuh hati dengan tempat ini. Namun karena satu dan lain hal, aku memutuskan langsung berangkat menuju Phnom Penh.
Siem Reap-Phnom Penh 315 kilometer
Aku bertemu seorang gadis cantik berwajah unik, campuran Amerika dan Jepang. Katanya ia sedang menjadi volunteer untuk sebuah organisasi non pemerintah di Phnom Penh. Kami satu bus menuju ibukota Kamboja, ia dengan sukarela menunjukkan petanya kepadaku dan membantu menemukan tempat yang kutuju di sana. Aku belum mengucapkan salam perpisahan, Ia terlanjur menghilang sesampainya kami di Phnom Penh. Mungkin aku sedang sibuk dengan bagasiku saat itu. Kota Phnom Penh hampir tertidur, aku sampai di sana pukul sebelas malam. Untungnya sahabatku Nary menjemput dan mengantarkan ke guest house yang akan kutuju.
Waktu yang kuhabiskan di Phnom Penh esok harinya takkan lebih indah tanpa kehadiran para sahabat yang menemani. Mereka ada yang kukenal di Korea, ada pula yang kutemui di Jepang, juga di Yogyakarta pada UGM Summer School Juli lalu. Meskipun kota itu diguyur hujan terus menerus (bahkan sampai banjir), namun aku amat menikmati kebersamaan yang terjalin. Terima kasih Nary, Seylene, Thanine, Somarika, dan Moniroth…
Phnom Penh-Ho Chi Minh City 210 kilometer
Aku gagal bertemu lagi dengan sahabatku Ngan di kota ini. Empat hari tiga malam yang aku habiskan di Vietnam kali ini cukup berbeda dengan kunjunganku sebulan sebelumnya. Menginap di salah satu budget hotel di jalan Bui Vien, aku disambut oleh resepsionis yang amat ramah. Dan saat melakukan perjalanan berperahu di My Tho (dua jam dari Ho Chi Minh City) aku mengobrol dengan seorang turis Amerika. Di balik penampilan sangar dengan banyak tato di tangannya, ia adalah seorang pria yang baik hati dan bijak. Aku tahu perjalananku ini bukan apa-apa dibandingkan dengan traveler lain yang sudah ke berbagai tempat, namun ia menunjukkan rasa bangganya padaku dan rekan seperjalananku, Putri. Meskipun saat ini budaya traveling sudah semakin hidup di Indonesia, mungkin masih terbilang sedikit dibandingkan para bule yang bertebaran traveling di mana-mana. “You are brave, I’m very proud of you, girls. You must learn many things from this journey. And after this, you won’t be the same persons.” Tentu yang ia maksudkan adalah menjadi seseorang yang lebih baik, yang belajar dari berbagai pengalaman yang telah kami dapat selama perjalanan. Juga ada turis Australia yang mengucapkan salam perpisahan, “Nice to meet you two, inspiring girls.” Ah, bule-bule memang pandai mengapresiasi orang lain, sekecil apapun itu.
Ho Chi Minh City-Jakarta 1880 kilometer
Aku terbang…membawa pulang backpack yang penuh baju kotor, dan lebih dari itu..membawa pengalaman yang takkan terlupakan. Tempat-tempat yang aku kunjungi, orang-orang yang aku jumpai, semua masih tergambar jelas di hati dan ingatanku. Aku bertekad takkan berhenti berjalan melihat sisi lain dunia dan keindahan ciptaan-Nya. Aku amat mengagumi berbagai perbedaan yang telah Ia ciptakan. Pebedaan bukanlah sesuatu yang perlu disalahkan dan diperdebatkan. Berjalanlah, berbincanglah, dan kita akan menemukan keindahan dari perbedaan itu.
Aaakkk ngiriiii. Aaakkk!
Hahaha ST 12 udah bubar Cha, sekarang yg ada Setia Band X))
Jadi kamu sendirian ya Cha keliling ASEAN-nya? Ahh seru banget tripmu Chaaa
LikeLike
Maklum lah ini trip tahun 2010. Haha..bahkan aku ga tau mereka udah bubar.
Aku berdua sama temenku bernama Putri, tapi bukan Putri IM 😀
LikeLike