“Sekolah itu jangan disuruh-suruh. Sekolah itu harus kesadaran sendiri,” ujar lelaki yang mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan itu.

Napak tilas masa kecil ini membawa saya ke kediaman seseorang bernama Samuel Erubun pada akhir Januari 2009. Ia adalah guru saya semasa SD di SDN Harapan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Bersama seorang teman SD bernama Risma, saya datang ke rumahnya di komplek guru sebuah SD di Cipanas, tempat istrinya mengajar.
Ketika kami datang, ia sedang santai di depan rumahnya dengan lagu “Poco-poco” yang terdengar mengalun dari dalam rumah.
“Milarian saha?” (nyari siapa?) tanyanya ramah dengan bahasa Sunda. Masih seperti dulu, bahasa Sunda namun dengan logat khas Timur sana, Maluku.
“Milarian Bapa, hehe…” saya dan Risma menjawab sambil tertawa bersamaan.
“Ieu Icha, Pa… “ (Ini Icha, Pak..) kata saya mencoba mengingatkan. Saya maklum kalau pada awalnya ia lupa. Terakhir saya mengunjungi beliau tahun 2005 silam.
Begitu ia menyadari siapa yang datang, wajahnya langsung sumringah dan serta merta mempersilakan kami masuk. Saya pikir, tentu menyenangkan bagi seorang guru jika masih diingat oleh murid-muridnya.
Layaknya sekolah-sekolah di kampung, SD saya dulu berjalan dengan berbagai keterbatasan fasilitas. Selain itu, terdapat juga beberapa persoalan berkaitan dengan guru. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap guru-guru di sana, seingat saya tak banyak dari mereka yang memiliki loyalitas tinggi dalam mengajar. Misalnya saja, kebanyakan dari mereka tidak disiplin soal waktu. Sering anak-anak terlantar di kelas menanti guru yang baru tiba jam 9 padahal lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi sejak jam 7. Alasan klasik, mungkin tidak adanya loyalitas dikarenakan mereka tidak memperoleh kesejahteraan yang layak dari profesi guru. Mungkin juga karena alasan tersebut, praktek jual-beli nilai dilakukan oleh beberapa oknum guru. Sangat tidak mendidik.
Namun, Samuel Erubun adalah pengecualian dari semua itu. Memang ia dikenal keras dalam mendidik para murid. Pada awalnya, sosok beliau begitu anker di mata saya. Sampai saya kelas 6 dan beliau menjadi wali kelas saya, barulah saya mengerti dan mengenal beliau lebih dekat. Beliau memang keras dan disiplin. Bisa jadi itu memang bawaan dari didikan masa kecilnya di Maluku sana. Ia sering bercerita bagaimana dulu ia bersekolah, sekeras apa hukuman jika ia tidak belajar sungguh-sungguh, dan lainnya. Hal tersebut berbeda dengan budaya di kampung sekitar SD saya kala itu. Mental orang-orang di sana kebanyakan lembek dan mudah putus asa. Saya juga sedih, bukan salah mereka jika mereka tak punya cita-cita setinggi langit. Memberi pemahaman soal pendidikan memang tak mudah bagi masyarakat yang sudah turun temurun berpikir yang penting bisa baca-tulis dan cari duit. Meskipun pada akhirnya, pekerjaan mereka pun hanya untuk hidup pas-pasan.

Menuliskan dan menceritakan sosok Samuel Erubun bagi saya merupakan tuntutan moral tersendiri. Di sebuah kampung di mana pendidikan bukanlah hal yang dianggap penting, ia bergelut melalui profesinya sebagai guru. Ia ramah dan akrab dengan masyarakat sehingga ia dicintai dan disegani. Ia tak bosan mengingatkan masyarakat di sana betapa pentingnya sekolah, termasuk terus mengingatkan bahwa pekerjaan perempuan tak sekedar di dapur. Perempuan juga bisa berbuat lebih dari itu. Berbakti untuk keluarga, namun tetap berkontribusi bagi masyarakat.“Sekolah itu jangan disuruh-suruh. Sekolah itu harus kesadaran sendiri,” ujar lelaki yang mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan itu.
Obrolan sore itu begitu menyenangkan. Saya selalu merindukan masa kecil dulu, masa-masa ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dalam obrolan itu kami bernostalgia, juga bicara mengenai hari ini dan rencana masa depan. Saya salut kepada beliau yang selalu hidup sederhana dan bersahaja. Di rumah yang sempit itu, ia dan istri membesarkan kedua anaknya dan membekali mereka dengan ilmu hingga kini kedua anaknya berhasil sekolah sampai ke perguruan tinggi.
Dalam kesederhanaannya, ia selalu optimis. Mungkin kini saya belum menjadi apa-apa. Tetapi setidaknya, saya yang berkesempatan menempuh bangku perguruan tinggi ini membuatnya bangga. Pancaran wajahnya seolah berkata, “inilah salah satu murid yang kudidik dahulu…”. Dan dari pandangannya juga, seolah ia menitipkan tanggung jawab di pundak saya untuk dapat berkarya dengan ilmu yang saya dapatkan.
Saya ingat di semester awal kuliah dahulu, salah seorang dosen pernah berkata. “Kalian tahu guru yang paling berjasa? Mereka adalah guru SD kalian, yang mengajari kalian membaca dan menulis. Tanpa mereka, tak akan kalian sampai ke bangku kuliah ini.”
Entah kata-kata tersebut berlebihan atau tidak. Tapi hingga kini, saya memang masih sangat menghargai guru-guru SD saya. Dan saya berdoa, semoga segala amal baik mereka dibalas dengan pahala yang lebih baik oleh-Nya dan ilmu yang mereka ajarkan selalu mengalir tak henti-hentinya.
Sewaktu saya menjadi guru dalam program Indonesia Mengajar (2011 – 2012), Pak Erubun adalah salah satu guru yang ingin saya kirimi surat. Saya ingin bercerita bahwa saya bangga kini menjadi guru. Meskipun hanya setahun, saya turut merasakan apa yang ia rasakan. Namun sayang sekali pada akhir Desember 2011, saya mendapat kabar dari salah seorang kawan SD saya bahwa Pak Erubun sudah berpulang tiga bulan sebelumnya. Air mata saya jatuh di tengah heningnya malam di Dusun Pinang Gunung, Bawean. Belum sempat saya bercerita, belum sempat saya berterima kasih kepada beliau.
Pak Erubun, engkau telah pergi. Namun engkau akan selalu ada di hati kami. May you rest in peace.
Wow Guru Legenda, guru terbaik. mengajar dengan gayanya sendiri (y) mencetak anak bangsa berkualitas
Rest In Peace Pak Erbun, Jasamu selalu kami kenang
LikeLike
Terima kasih. Apakah kenal Pak Erubun juga?
LikeLike