Traveling

Cerita Kurau: Ketulusan Hati

 Banyak orang-orang baru yang mengajarkan saya tentang makna ketulusan dan mulianya memuliakan tamu.

Matahari baru saja terbenam ketika kami tiba di Desa Kurau. Berjalan-jalan di Pulau Bangka, sudah pasti kita bertemu dengan pantai-pantai nan cantik dengan bebatuan yang tinggi menjulang. Namun kala itu saya ingin mengunjungi sebuah tempat yang lain. Kurau adalah sebuah desa nelayan di Kecamatan Koba, jaraknya kira-kira 20 km dari Pangkal Pinang. Saya tertarik untuk melihat kehidupan nelayan asli Bugis yang tinggal di desa tersebut. Jujur saja saya tak punya banyak bekal pengetahuan untuk pergi kesana. Bermodal peta dan tanya sana-sini, saya dan tiga orang teman menyewa sepeda motor dari Pangkal Pinang.

Kami berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan solat maghrib sekaligus untuk meminta izin kepada warga bahwa kami hendak menginap di masjid malam itu. Kami memang sudah mengantisipasi di sana tidak akan ada penginapan, jadi kami sudah siap untuk tidur di masjid. Kalaupun ada warga yang menawarkan untuk menginap di rumahnya, itu namanya rezeki.

Warga menyambut kami dengan ramah. Kebetulan malam itu di Pangkal Pinang dan sekitarnya sedang terkena giliran pemadaman listrik. Hampir seluruh desa gelap, kecuali masjid dan beberapa rumah tertentu yang memiliki genset. Namun, listrik masjid pun harus dimatikan setelah waktu Isya jadi kami akan kegelapan semalaman. Kami bilang, “Tidak apa-apa kok, Pak…”

Warga merasa tak enak kalau kami di masjid tanpa penerangan. Seorang Bapak yang memperkenalkan diri sebagai Pak Andu kemudian menawarkan kepada kami untuk menginap di rumahnya saja. Kami mempertimbangkan lagi, malam itu tidak ada listrik di Kurau dan jika kami menginap makan akan sangat merepotkan keluarga Pak Andu. Lebih baik kami tidur di masjid, tidak perlu sungkan. Kami juga belum makan malam, jadi niatnya hendak mencari warung dahulu di sekitar masjid.

Pak Andu memperlihatkan ekspresi khawatir. Saya dan ketiga teman saya saling berpandangan satu sama lain, seolah saling bertanya tentang apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Akhirnya, untuk menghormati tawaran Pak Andu, kami pun mengikuti beliau berjalan ke rumahnya, sekadar untuk mampir dan mengobrol-ngobrol.

Jalanan gelap. Kami menyusuri gang yang di kiri dan kanannya terdapat rumah-rumah panggung dari kayu. Wilayah pemukiman itu memang terletak di pinggir muara sungai sehingga perlu dibuat rumah panggung untuk mengantisipasi jika air sedang pasang. Berbeda dengan kebanyakan rumah di sekitarnya, rumah Pak Andu sudah terbuat dari batu bata, namun tetap sederhana. Dengan agak sungkan, kami duduk di ruang tamu sambil mulai berbincang dengan Pak Andu. Sementara itu istrinya ke dapur dan kembali dengan membawa minuman panas.

Saya bertanya tentang keberadaan orang-orang Bugis di desa itu. Menurut Pak Andu, mereka mulai pergi ke Pulau Bangka pada tahun 1970-an. Pak Andu sendiri baru merantau ke Bangka pada tahun 1980-an. “Kenapa Bangka, Pak?” tanya saya. Konon pada saat itu ada kabar dari mulut ke mulut bahwa pulau Bangka cukup menjanjikan, bisa jadi karena kegiatan tambang timahnya. Dan mungkin memang jiwa orang Sulawesi yang pelaut dan suka merantau. Hal itu juga terbukti karena di lokasi saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) pun (Pantai Pesaren, Kec. Belinyu, Bangka) saya bertemu dengan orang-orang Buton yang mendirikan rumah tak permanen di pinggir pantai. Mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka terus berlayar mencari tempat yang menjanjikan dan berpeluang. Bedanya, orang Bugis di Kurau menetap dan membentuk komunitas, dengan tetap menyatu dengan budaya setempat.

Tak lama kemudian, istri Pak Andu datang lagi dan menawari kami makan malam. Ternyata hidangan makan malam sudah tersedia di ruang keluarga. Kami berempat saling memandang lagi. Bingung. Tapi tidak mungkin juga tawaran ini ditolak. Kami pun melahap menu nasi, ikan, dan sayur yang sudah ada di depan kami. Sambil dalam hati, saya berterima kasih kepada keluarga Pak Andu dan berdoa semoga Allah SWT membalas kebaikan Pak Andu dan keluarganya.

Kami sempat berbincang-bincang dan mengutarakan rencana kami untuk melihat aktivitas pagi para nelayan. Ternyata yang disebut pagi sebenarnya adalah dini hari. Karena pada pukul 00.00 pasar ikan sudah ramai oleh para nelayan dan pembeli yang datang dari berbagai tempat, bukan hanya desa Kurau saja. Tanpa diminta, Pak Andu menawarkan diri untuk menemani kami. Kami mengiyakan tawaran Pak Andu meskipun sebenarnya kami tidak enak merepotkan beliau lagi.

Tengah malam kami bangun dengan mata masih agak berat karena baru tidur sebentar. Kurau saat itu tak terlihat seperti tengah malam. Kami melihat beberapa orang lainnya juga berjalan menuju pasar ikan yang jaraknya tak jauh dari masjid. Sesampainya di pasar ikan, semuanya lebih luar biasa. Begitu hidup. Kami berjalan-jalan menengok berbagai jenis ikan yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Bahkan saya pun tak bisa mengingat apa-apa saja nama ikan itu. Dari yang super besar sampai yang kecil-kecil…wahh… Di sisi lain, kami juga melihat kapal nelayan yang baru merapat dan kesibukan mereka mengangkut ikan-ikan hasil tangkapan. Tak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak kecil yang kira-kira berusia 8-12 tahun pun terlihat dalam hiruk pikuk kesibukan pasar ikan dini hari itu. Dalam hati saya salut kepada mereka yang sekecil itu sudah bisa membantu orang tua. Saya hanya berharap semoga pagi harinya mereka tetap sekolah dan mendapat kesempatan menimba ilmu untuk masa depan mereka.

Di pasar ikan dini hari tersebut, bukan hanya penjual ikan yang ramai dipadati orang. Di suatu sudut, terdapat pula beberapa warung kopi yang ramai. Mungkin mereka adalah para nelayan yang kelelahan setelah melaut dan perlu beristirahat sambil menikmati minuman hangat dan berbincang-bincang.

Kami kembali ke rumah Pak Andu dan melanjutkan tidur sampai waktu Subuh tiba. Ketika adzan berkumandang, Pak Andu bersiap ke masjid, diikuti oleh dua teman saya yang laki-laki. Pagi harinya, kami berjalan-jalan di sekitar jembatan Kurau. Alhamdulillah…nikmat Allah SWT begitu besarnya. Pagi yang cantik, udara segar dan pemandangan yang luar biasa. Gradasi langit pagi, muara, rumah-rumah panggung di sisinya, kapal nelayan, juga burung-burung yang berkejaran di udara. What more can I say? Jika masih ada waktu, sebetulnya bisa juga menyewa kapal untuk menelusuri sungai dan menikmati keindahan di sekitarnya. Mengunjungi Pulau Ketawai yang berada tak jauh dari sana pun bisa menjadi salah satu pilihan.

Pagi di Desa Kurau

Pagi itu kami juga kembali menengok pasar ikan yang dini hari lalu begitu ramai. Kini semuanya kosong. Sepi. Mungkin waktunya bagi mereka untuk beristirahat. Dengan riang saya pun jepret-jepret pemandangan muara sekitar pasar. Tak lupa saya dan teman-teman berebut untuk difoto.

Pemukiman penduduk Desa Kurau

Sepulang dari jalan-jalan pagi, ternyata istri Pak Andu telah menyiapkan sarapan. Kami benar-benar tak dapat berkata-kata laagi. Tak tahu apa yang bisa kami lakukan untuk membalas segala kebaikan keluarga Pak Andu, orang-orang yang baru kami kenal beberapa jam yang lalu. Sungguh mulia mereka yang memuliakan tamu. Mereka sungguh tulus dan tak mengharap balasan apa-apa. Apa yang mereka lakukan semata-mata untuk menyambut saudara yang datang dari jauh. Sekali lagi saya berdoa semoga Allah SWT membalas kebaikan keluarga Pak Andu dengan pahala yang lebih baik. Dan saya tiba-tiba teringat Mama saya di rumah yang juga selalu melakukan hal yang sama jika kedatangan tamu. Sekarang saya mengerti betapa indahnya itu semua.

Terima kasih ya Allah…untuk semua pelajaran berharga yang aku dapatkan. *tears drooped*

 

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)

Agustus 2009

*Setahun kemudian, salah satu dari kami berkesempatan mengunjungi Bangka lagi dalam rangka membantu penelitian di kampus. Kami sepakat untuk memberikan buah tangan kepada keluarga Pak Andu sebagai tanda terima kasih. Sungguh kami sadar kebaikannya tak bisa dibalas dengan materi yang tak seberapa itu.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s